Setiap ikhtiar untuk mengusulkan Papua Barat menjadi anggota PBB pasti akan diveto AS karena justru negara tersebutlah yang memfasilitasi Perjanjian New York yang melahirkan Pepera. Irian Barat menjadi bagian NKRI.
Oleh
HAMID AWALUDIN
·4 menit baca
Sekam politik di tanah Papua seolah tak pernah padam. Ia muncul-tenggelam. Di tengah ikhtiar keras bangsa kita menangani pandemi Covid-19 untuk menyelamatkan nyawa manusia, pada 19 Oktober 2020, tiba-tiba Forkorus Yaboisembut, yang mengklaim diri presiden negara federasi Papua Barat, mendeklarasikan Papua Barat sebagai negara merdeka, keluar dari pangkuan NKRI.
Forkorus seolah mengaum, mengultimatum Presiden Joko Widodo untuk segera bernegosiasi dengan tenggat maksimal 2021. Jika tidak, katanya, ia akan menghubungi negara-negara Pasifik. Ia menganggap Papua Barat bukan bagian NKRI karena dulu koloni Belanda. Ia pun menantang bersedia melawan para ahli hukum internasional.
Dengan tawaran bernegosiasi, Forkorus tentu berharap ia diberi konsesi tertentu. Deklarasi Papua Barat sebagai negara merdeka hanyalah politik high call belaka agar pemerintah menawarkan sesuatu, asal tuntutan merdeka dicabut. Begitu cara berpikir Forkorus. Bukan para pengikutnya, yang memang hanya sekadar ikut-ikutan.
Ia menganggap Papua Barat bukan bagian NKRI karena dulu koloni Belanda.
Hukum internasional
Terlepas dari kalkulasi dan motivasi politik praktis Forkorus itu, ia mengaitkan tuntutannya dengan hukum internasional. Sebuah narasi yang sangat absurd karena dari perspektif hukum internasional, justru posisi Indonesia sangat kuat dan sah memiliki wilayah Papua sebagai bagian integral NKRI.
Belanda memang memainkan politik licik setelah kita mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945. Belanda tak mau melepaskan, bahkan membicarakan Papua pun tidak. Papua dulu bernama Irian Barat. Hingga Perjanjian Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag, 23 Agustus-2 November 1949, Belanda tetap menolak bicara integrasi Irian Barat ke NKRI.
Berbagai ikhtiar dilakukan, tetapi Belanda tetap tak mau menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Presiden Soekarno langsung memerintahkan Soeharto, melalui Operasi Mandala, untuk merebut Irian Barat secara militer pada 1961.
Melihat perkembangan politik yang selalu memanas itu, AS memfasilitasi pertemuan antara Indonesia dan Belanda. Pertemuan berlangsung 15 Agustus 1962 di New York. Karena itu, hasil pertemuan dinamai Perjanjian New York. Isinya, antara lain, peralihan kekuasaan Belanda mengenai Irian Barat kepada PBB melalui organnya, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa akan dilaksanakan Pepera, penentuan pendapat rakyat (act of free choice). Tujuannya adalah menanyai rakyat Irian Barat: apakah mereka mau atau tidak masuk menjadi bagian integral dari Indonesia.
Pepera berlangsung 14 Juli hingga 4 Agustus 1969. Hasilnya: rakyat Irian Barat memilih menjadi bagian integral NKRI. Hasil jajak pendapat dibawa langsung dan dilaporkan oleh utusan khusus Sekjen PBB, Ortis Sanz, ke Sidang Umum PBB, November 1969. Majelis Umum PBB menerima hasil itu sebagai implementasi Perjanjian New York.
Sekarang ini ada yang menggugat metode jajak pendapat itu karena dalam Perjanjian New York disebutkan jajak pendapat dilakukan dengan sistem one man one vote. Pelaksanaannya ternyata menggunakan sistem perwakilan. Masalahnya, pada 1969, di Irian Barat medannya sangat berat untuk melaksanakan sistem one man one vote. Secara de facto, PBB tak mempersoalkan perubahan sistem jajak pendapat yang dipakai itu.
Dengan penerimaan PBB atas hasil jajak pendapat tersebut, Irian Barat, yang berubah menjadi Papua, lalu mekar menjadi Papua Barat, sangat sah menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Maka, seyogianya tidak ada lagi ikhtiar hukum apa pun yang boleh menggugatnya.
Tanpa pijakan
Terlepas dari pengesahan PBB atas hasil jajak pendapat itu, ada baiknya kita merujuk pada Konvensi Monteviedo tahun 1933 tentang syarat-syarat berdirinya suatu negara: harus ada penduduk yang tetap, wilayah yang jelas, pemerintahan yang efektif, dan adanya pengakuan negara lain agar negara yang lahir itu bisa melakukan hubungan antarnegara.
Dengan dasar Konvensi Monteviedo 1933 ini, jelas tuntutan Papua Barat untuk merdeka, keluar dari pangkuan NKRI, sama sekali tak memiliki pijakan konstitusional karena kriteria pengakuan (recognition) dari negara lain, yang menjadi salah satu persyaratan berdirinya sebuah negara, sudah diberikan kepada Indonesia melalui Majelis Umum PBB yang mengakui hasil Pepera 1969. Negara mana lagi yang mau mengakui Papua Barat sebagai sebuah entitas yang bernama negara merdeka?
Bagaimana jika ada beberapa negara di Pasifik yang mengakuinya kelak? Secara politik, bisa saja terjadi. Namun, pengakuan negara-negara itu tetap tak berarti apa-apa karena PBB pasti tak akan menerima Papua Barat sebagai anggota PBB karena lembaga dunia tersebut sudah mengakui bahwa Irian Barat adalah wilayah kedaulatan penuh Indonesia.
Setiap ikhtiar untuk mengusulkan Papua Barat menjadi anggota PBB pasti akan diveto AS karena justru negara tersebutlah yang memfasilitasi Perjanjian New York yang melahirkan Pepera yang menegaskan bahwa rakyat di Irian Barat memilih jadi bagian integral NKRI.
Nah, bisakah kita membayangkan, dalam era yang serba, meminjam istiah Robert Keohane, saling bergantung (interdependence) sekarang ini, ada sebuah negara, tetapi tidak menjadi anggota PBB? Bisa survive, tapi hidup di tengah derita berkepanjangan.
Hamid Awaludin, Mantan Menteri Hukum dan HAM serta Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin