Benturan Penerbit dan Platform Digital
Para penerbit seharusnya menguasai benar pokok masalah, menyusun prioritas, dan menyepakati pada level mana akan berjuang. Apakah melalui jalur politik legislasi atau negosiasi langsung dengan perusahaan platform?
Free online culture inilah kebaruan yang dibawa digitalisasi. Layanan daring, seperti mesin pencari dan media sosial, dapat diakses secara bebas.
Kita dapat memperoleh informasi, pengetahuan, hiburan, dan jejaring secara cuma-cuma di sana. Para pengguna didorong untuk berkontribusi pada budaya berbagi secara daring itu dengan membagikan apa pun di ruang digital.
Maka, terbentuklah ekosistem digital di mana karya, kekayaan intelektual dan keahlian pemusik, penerjemah, wartawan, penulis, peneliti, media massa, dan lain-lain diperlakukan sebagai ”milik bersama” yang dapat diakses secara bebas. Kebebasan berinternet kemudian tidak bukan berarti kita dapat mengakses apa pun di dunia maya, melainkan juga bahwa kita dapat menikmati jerih payah orang lain tanpa memberi imbalan apa pun.
Baca juga: Negara dan Tata Kelola Internet
Budaya baru itu jelas menguntungkan platform digital yang dapat memanfaatkan dan memonetisasi konten pihak lain secara ”cuma-cuma”. Demikian juga dengan para pengguna yang semakin terbiasa memperoleh segala rupa informasi secara gratis. Namun, bagaimana dengan para wartawan atau penulis yang hidup dari penghargaan atas karya-karya mereka? Bagaimana dengan media massa yang harus membayar setiap jerih payah wartawan dalam menghasilkan berita?
Budaya baru itu jelas menguntungkan platform digital yang dapat memanfaatkan dan memonetisasi konten pihak lain secara ”cuma-cuma”.
Jika berita itu kemudian diagregasi dan disebarkan secara cuma-cuma, bagaimana masa depan wartawan, media massa, dan institusi jurnalisme secara lebih luas?
Royalti karya jurnalistik
Dalam konteks inilah lahir perseteruan berkepanjangan antara penerbit dan platform digital. Jejak perseteruan itu dapat dilacak pada pertengahan dekade 2000 di Perancis, Inggris, Kanada, Spanyol, Belgia, Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan China.
Proses agregasi dan kurasi berita oleh platform mesin pencari telah menimbulkan kemarahan para penerbit. Mereka mendorong munculnya regulasi yang memungkinkan penerbit mendapatkan royalti atau bagi hasil atas berita yang diagregasi platform mesin pencari. Perjuangan itu menemukan titik terang tatkala Uni Eropa mengesahkan amendemen UU Hak Cipta (EU Copyright Directive) Uni Eropa Tahun 2001.
Baca juga: Boikot Media Sosial dan Keseimbangan Baru
Dengan judul publisher’s right, Pasal 11 UU Hak Cipta tersebut menegaskan platform digital (media sosial, agregator berita, atau mesin pencari) wajib memperoleh izin penerbit sebelum memanfaatkan konten penerbit secara sebagian atau keseluruhan. Penggunaan nukilan berita (news snippet) oleh platform mesin pencari tanpa izin penerbit menghasilkan konsekuensi pembayaran kompensasi dalam jumlah tertentu.
Perusahaan platform awalnya menolak pengaturan ini. Google berdalih publisher’s right itu justru mengurangi akses masyarakat atas berita dan membahayakan nasib jurnalisme. Pemberlakuan royalti atas nukilan berita, menurut Google, akan mereduksi insentif untuk platform mesin pencari dalam menghadirkan layanan distribusi konten yang lebih cepat dan efisien untuk penerbit dan pembaca. Gagasan tentang publisher’s right, menurut Google, hanya akan mendorong platform digital untuk berhenti mengurasi dan menyebarkan konten penerbit.
Tahun 2013, merujuk pada UU Hak Cipta Uni Eropa, sebuah konsorsium 200 penerbit di Jerman, dipimpin Axel Springer, secara tegas melarang Google News menyajikan nukilan berita mereka secara cuma-cuma. Google merespons dengan berhenti mengindeks dan mengurasi berita para penerbit tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? Dalam dua minggu, situs web Axel Springer mengalami penurunan trafik hingga 40 persen pada sisi Google dan 80 persen pada sisi Google News. Axel Springer tak lama kemudian memutuskan bersedia kembali diindeks Google News.
Baca juga: Cara Publik Menghukum Platform Media Sosial
Yang terjadi di sini adalah media massa telanjur bergantung terhadap platform. Banyak media membutuhkan indeks, trafik, dan tidak mempunyai cara lain kecuali mendapatkannya dalam ekosistem platform digital. Yang terjadi antara penerbit dan platform di sini, meminjam istilah Nikos Smyrnaios, adalah coopetition: kooperasi sekaligus kompetisi.
Penyebarluasan konten melalui mesin pencari memungkinkan penerbit mendapatkan indeks atau trafik. Sebaliknya, mesin pencari memanfaatkan produktivitas media dalam menghasilkan berita setiap hari. Namun, di sisi lain, kedua pihak sebenarnya bersaing untuk meraih iklan dan pembaca.
Ketergantungan terhadap platform terlebih-lebih terjadi pada penerbit kecil. Pengalaman Eropa menunjukkan, ketentuan tentang royalti atas nukilan berita telah diprotes para penerbit kecil yang justru merasa terbantu oleh keberadaan mesin pencari. Mereka memperoleh trafik, dapat mendistribusikan berita dengan cara yang murah, serta dapat berinteraksi dengan khalayak dengan cara yang lebih efisien.
Ketergantungan terhadap platform terlebih-lebih terjadi pada penerbit kecil.
Bagi penerbit kecil, trafik lebih berharga dibandingkan dengan kompensasi karya jurnalistik yang diperjuangkan Uni Eropa untuk penerbit. Kenyataan ini membuat gerakan menuntut platform digital agar membayar royalti atas nukilan berita menjadi ambyar di tengah jalan.
Monopoli distribusi konten
Tahun 2019, hasrat para penerbit untuk menuntut platform digital membayar kompensasi atau royalti atas agregasi konten jurnalistik menggeliat kembali setelah Uni Eropa memperbarui regulasi tentang publisher’s right. Di Perancis, asosiasi media menuntut pelaksanaan publisher’s right mulai 24 Oktober 2020. Di Australia, Komisi Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen menginisiasi regulasi tentang Kode Etik Platform Digital.
Tidak ada yang baru dari respons platform. Google mengancam akan berhenti mengindeks dan mengurasi konten jurnalistik di Eropa dan Australia jika regulasi itu diterapkan. Richard Gingras, Wakil Presiden Google, mengklaim Google tidak mengambil keuntungan dari agregasi berita.
Baca juga: Konten Kreator atau Jurnalisme Warga Tetap Perlu Rambu-rambu Etika
Gingras justru berpikir sebaliknya, seharusnya penerbit yang membayar Google karena telah membantu proses distribusi berita. Gingras yakin, penarikan layanan Google News di Eropa dan Australia tak akan mengancam keuangan Google.
Hal yang baru kali ini adalah para penerbit tidak kendur oleh intimidasi Google. Mereka justru maju dengan senjata baru, yakni gugatan pelanggaran atas UU Anti-Monopoli. Google dan Facebook menguasai 85-90 persen pasar display daring Eropa. Dengan penguasaan itu, mereka dituduh bertindak semena-mena dan sepihak terhadap para penerbit.
”Ancaman Google untuk menghentikan agregasi konten adalah tindakan pemerasan. Penerbit dipaksa menyerahkan konten secara cuma-cuma kepada platform atau konten tersebut akan hilang dari ruang digital. Penerbit dipaksa membiarkan konten mereka muncul di mesin pencarian tanpa imbalan atau Google akan menerapkan aturan mereka sendiri secara sepihak. Kami tak akan membiarkan Google menggunakan dominasinya untuk melanggar UU Anti-Monopoli,” demikian kata Bertrand Gié dari surat kabar Le Figaro Groupe, Perancis.
Baca juga: ”Deal” Miliaran Dollar Google-Apple di Tengah Pusaran Antimonopoli
Dalam konteks inilah, France’s Alliance of the Press of General Information dan The European Newspaper Publishers Association (ENPA) mengajukan gugatan antimonopoli kepada Google dan Facebook.
Penerbit dipaksa membiarkan konten mereka muncul di mesin pencarian tanpa imbalan atau Google akan menerapkan aturan mereka sendiri secara sepihak.
Ambiguitas platform
Pada tahap ini, yang mengemuka adalah sikap mendua platform digital. Antara melawan tuntutan para penerbit atau menawarkan konsesi dan kerja sama. Di satu sisi, Google dan Facebook menolak membayar royalti atas nukilan berita yang telah mereka manfaatkan. Di sisi lain, Google dan Facebook membuka proses negosiasi dengan para penerbit untuk hal yang sama.
Di satu sisi Google dan Facebook mengancam akan berhenti mengindeks dan mengurasi konten penerbit, di sisi lain keduanya mengalokasi anggaran ”bagi hasil” untuk para penerbit. Oktober 2020, melalui News Showcase, Google menawarkan konsep ”berbagi konten dan pendapatan” untuk penerbit berlisensi di Jerman, Brasil, dan Australia senilai lebih dari 1 miliar dollar AS. Berdurasi tiga tahun, jangkauan program ini diperluas untuk penerbit di banyak negara lainnya.
Baca juga: Google Investasi 1 Miliar Dollar AS untuk Bayar Konten Berita
Melalui News Tab, Facebook juga mengambil momentum untuk menarik perhatian para penerbit dengan menawarkan kompensasi atas konten jurnalistik yang disebarkan melalui platform Facebook.
Ambivalensi ini menunjukkan platform digital sesungguhnya memperhitungkan keberadaan media massa sebagai bagian dari ekosistem yang mereka kembangkan. Secara bisnis, agregasi dan kurasi konten mungkin belum memiliki signifikansi ekonomi. Namun, platform digital mengambil keuntungan ”politis” berupa referensi pengguna atas platform. Referensi pengguna, bagaimanapun, dipengaruhi kepercayaan publik atas kualitas konten.
Semakin berkualitas konten yang dikurasi Google, semakin bagus citra Google di mata penggunanya. Tanpa menafikan beberapa kelemahannya, media massa adalah sumber konten yang lebih berkualitas. Legitimasi dan kredibilitas media massa di sini menjadi perhitungan platform.
Kalau dalam prosesnya Google dan Facebook sering menggertak para penerbit, ini strategi untuk menaikkan posisi tawar dan mempermainkan sentimen publik. Google dan Facebook mencoba ”memecah belah” penerbit besar dan penerbit kecil yang sangat bergantung pada trafik yang diberikan platform. Google dan Facebook juga mencoba memanfaatkan ketergantungan masyarakat terhadap layanan mereka untuk menciptakan opini negatif tentang penerbit.
Pada akhirnya keberhasilan penerbit untuk menuntut perlakuan tanggung jawab platform digital ditentukan oleh faktor berikut. Pertama, kekompakan di antara para penerbit. Jika platform digital berhenti mengagregasi atau mengurasi konten, apakah penerbit siap kehilangan trafik untuk sementara waktu? Kegagalan dalam menghadapi Google di beberapa negara disebabkan oleh faktor ini. Tantangannya adalah meyakinkan banyak penerbit yang telah sedemikian bergantung pada kerja sama dengan platform.
Kedua, merumuskan pokok gugatan terhadap platform, apakah royalti karya jurnalistik, monopoli distribusi konten, atau hak atas pemanfaatan data pengguna? Para penerbit harus menguasai benar pokok masalah ini, menyusun prioritas dan menyepakati pada level mana akan berjuang. Apakah melalui jalur politik legislasi atau negosiasi langsung dengan perusahaan platform? Jika jalan negosiasi yang dipilih, di manakah posisi dan peranan pemerintah? Perlu pertimbangan yang saksama dalam hal ini.
Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers; Dosen ATVI Jakarta.