Makanan Terindah Oh Masa Lalu
Oh, aku sekarang benar-benar merasa khawatir, jangan-jangan makanan yang kita konsumsi dewasa ini adalah simulasi-simulasi yang sebenarnya palsu adanya? Kalau benar-benar itu palsu, lalu di mana kebenaran sejati?
Setiap pukul 10.00 pagi, Ibu selalu menyodorkan rantang bersusun tiga. Dengan penuh antusias dan sukacita aku menyambutnya. Inilah saat-saat paling indah: mengantarkan makanan kepada Bapak yang sedang bekerja di sawah.
Sebagaimana banyak petani, kami tak mengenal kebiasaan sarapan. Pagi-pagi buta, Bapak sudah berangkat ke sawah, sampai kira-kira pukul 11.00 menjelang siang, barulah menyantap makanan dan menyeruput kopi hangat.
Duduk di dangau di tengah-tengah hamparan air serta tanah-tanah yang dibajak Bapak, sambil menyantap masakan Ibu, menjadi keindahan tiada tara. Ibu tahu pasti bahwa aku akan ikut nimbrung makan bersama Bapak. Oleh sebab itu, ia selalu menyiapkan dua porsi makanan dalam rantang kami.
Di tengah-tengah menikmati hidangan istimewa hari ini, siut angin menyambar atap dangau yang terbuat dari daun buyuk. Kadang terdengar ringkik belalang dan ceciat burung bersahut-sahutan. Inilah untaian orkestrasi yang digubah alam untuk mengiringi makan siang kami.
Duduk di dangau di tengah-tengah hamparan air serta tanah-tanah yang dibajak Bapak, sambil menyantap masakan Ibu, menjadi keindahan tiada tara.
Aku selalu penuh semangat mengantarkan makanan kepada Bapak walau masakan Ibu jarang berubah. Biasanya rantang bersusun tiga itu berisi sayur (bawah), nasi (tengah), dan lauk-pauk (atas). Sayur masakan ibu diolah dari irisan pepaya muda ditambah tauge berbumbu kuning, plus ikan asin atau suiran dendeng kerbau.
Terkadang pula sambal belut bakar berbumbu bawang dan sesekali sambal teri goreng berisi kacang tanah. Tak mewah, tetapi selalu memberi gairah kepadaku untuk ikut serta bersantap bersama Bapak di sawah.
Jika kami pergi menonton makepung (pacuan kerbau) di desa tetangga, karena harus berangkat pagi-pagi buta, Ibu selalu membawakan bekal nasi kepel. Nasi kepel hanya terdiri atas nasi hangat yang ditaburi uyah tabia (garam dan cabai), lalu dibungkus daun pisang.
Racikan itu kemudian dikepal-kepal sehingga berbentuk bulatan dengan tangkai daun yang melintir di bagian atasnya. Sambil berjalan, biasanya aku pukul-pukulkan bagian bawah kepalan itu ke tangan sebelah kiri. Cara ini bisa membuat nasi kepel bertambah padat dan menyatu dengan taburan sambalnya. Yum….
Kalau kau buka, asapnya yang menari mengantarkan aroma harum daun pisang, nasi, dan cabai segar. Oh, ya, kami tak pernah membawa air minum karena warga di mana makepung dilangsungkan biasanya menyiapkan jun (guci gerabah) di depan rumah. Kami bisa minum sepuas yang kami bisa. Airnya yang berasal dari sumur-sumur perdesaan mengalirkan rasa sejuk. Ada kesegaran tak tertandingi.
Baca juga : Maudy Berbicara kepada Pohon
Belakangan aku baru paham bahwa rasa paling enak dari makanan adalah narasi yang dilesakkan ke dalam menu sederhana seperti sambal belut atau sayur pepaya. Belut dan pepaya bisa kami dapat dengan mudah di sawah dan sekitar pekarangan rumah.
Sawah dan gunung di kejauhan menjadi latar yang hidup dan memberi energi kepada kami untuk bekerja keras sepanjang hari. Sesudahnya, jika kami menyantap makanan, itulah aliran berkat yang dilimpahkan semesta.
Ingatan semacam ini bukan sesuatu yang ”istimewa” bagi kami di perdesaan. Ia telah tumbuh menjadi kewajaran karena bisa kami reguk sehari-hari tanpa harus membeli.
Sekarang kau mungkin bisa saksikan, banyak restoran atau tempat rekreasi keluarga menghidupkan kembali narasi tentang masa lalu dan menyeretnya pada era konsumsi. Saung, yang berupa gubuk kecil dan terpisah dari rumah induk bagi orang Sunda, kemudian menjelma menjadi tempat-tempat menawan di banyak rumah makan.
Begitu pun dengan gubuk atau pondok, jika dulu digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang kecil, sederhana, dan bernuansa desa, setidaknya sejak 25 tahun terakhir justru digunakan sebagai branding untuk restoran-restoran yang menyajikan masakan rumahan, lengkap dengan latar sawah dan gunungnya.
Branding sesungguhnya bersangkut paut dengan persoalan narasi, yang terus-menerus didedahkan ke dalam sebuah ”benda”, sehingga benda itu memiliki kemampuan untuk bercerita.
Baca juga : Ada Apa dalam Sate Lilit?
Di sini kita bertemu dengan apa yang disebut oleh pemikir kebudayaan Jean Baudrillard sebagai simulacrum. Jadi, sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dunia maya, yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Bahwa saung, pondok, gubuk, atau menu-menu rumahan yang disajikan sebuah restoran telah menjadi simulacrum.
Ia menceritakan ingatan-ingatan yang bergerak dari masa lalu menuju masa depan sambil meninggalkan jejak-jejak imajinasi tentang keasrian masa-masa agraris dahulu.
Jangan khawatir, kau tidak sendirian. Tradisi membawa bekal atau menikmati santapan yang dibawa dari rumah sudah pula dilakukan pada abad ke-16 di Jepang. Bahkan disebutkan, tradisi membawa bento (bekal makanan) sudah dimulai pada zaman Kamakura (1185-1333).
Pada masa ini, orang Jepang mengeringkan nasi lalu membawanya ketika sedang bekerja. Nasi kering itu sering kali disebut dengan hoshi-ii, dan jika ingin mengonsumsinya, kau harus merebusnya terlebih dahulu.
Pada zaman Edo (1603-1867), tradisi membawa bento sambil bekerja atau berwisata semakin meluas. Bento yang tadinya bermakna ’wadah makanan dari kayu’ kemudian berubah menjadi bekal berupa nasi berserta lauknya. Lalu, pada zaman Meiji (1868-1912), untuk pertama kalinya bento dijual di stasiun kereta.
Sejak itulah bento mulai dikomodifikasi, dikemas secara apik bagi orang-orang yang ingin bepergian membawa bekal makanan. Setidaknya sejak itu bento di stasiun disebut sebagai ekiben (bento stasiun) yang konon dimulai di Stasiun Utsunomiya, Prefektur Ibaraki, tahun 1885. Pada saat itu juga muncul kebiasaan membawa bento bagi anak-anak yang sedang bersekolah.
Baca juga : Mak Erot dan Sindrom Maskulinitas
Saat Perang Dunia I (1912-1926), kebiasaan membawa bento dihentikan. Pada zaman Taisho, kesenjangan antara kaya dan miskin di Jepang semakin menganga. Oleh sebab itu, bento dituding sebagai arena pamer kekayaan, baik di sekolah maupun di tempat kerja. Kebiasaan membawa bento kemudian baru muncul tahun 1980-an seiring dengan merebaknya restoran-restoran yang menyajikan makanan dengan kemasan bento.
Di Indonesia, mungkin baru tahun 1985-an, kita mengenal restoran siap saji yang menggunakan bento sebagai branding produknya. Kita mengenal merek Hokben yang berdiri tahun 1985 di Jalan Kebon Kacang, Jakarta. Konon, kini terdapat lebih dari 150 gerai dengan merek sama di seluruh Indonesia.
Mungkin ini kisah lucu, tetapi kau harus mendengarkannya. Tahun 2009-2010, aku hidup sendirian di sebuah apartemen di Jakarta, sedangkan keluarga memilih tetap tinggal di Yogyakarta. Setiap pulang ke Yogyakarta, keluarga dan tetangga selalu minta dibawakan oleh-oleh nasi bento.
Kebetulan waktu itu di kota Yogyakarta belum ada restoran cepat saji yang menyediakan bento. Tak tanggung-tanggung, aku biasanya membawa oleh-oleh bento sampai 10 paket dan terbang dengan pesawat pertama agar nasinya tetap segar untuk sarapan bersama keluarga di Yogyakarta.
Aku merasa lucu jika mengigat kebiasaan itu, kemudian membandingkannya dengan saat-saat mengantarkan makanan kepada Bapak ke sawah. Perilaku yang sama, tetapi dilakukan dengan latar tempat dan waktu yang berbeda. Jika dulu aku mengirim masakan Ibu yang sederhana, dengan bahan-bahan yang kami ambil dari halaman, kini aku membawa makanan dengan merogoh saku sedalam-dalamnya.
Padahal, kenikmatannya belum tentu serupa dengan gairah yang aku tunjukkan saat-saat menikmati makanan di dangau di tengah sawah dengan latar belakang gunung di kejauhan.
Baca juga : Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Celakanya, anak-anakku menikmati bento made in Japan itu dengan penuh antusias. Bagi mereka, inilah makanan terindah yang pernah mereka nikmati: bawaan ayah dari kota lain dan dinikmati bersama-sama di pagi hari sebelum memulai aktivitas. Sampai kini, ketika umur anak-anak telah remaja, bento made in Japan jadi santapan favorit mereka.
Mungkin berbeda denganku yang mengalami masa-masa ”agraris” dan sekaligus melakoni era konsumsi sekarang ini. Ketika menikmati makan siang di saung atau pondok-pondok restoran yang terletak di tepi sawah, aku selalu ingat pengalaman masa lalu bersama Bapak.
Oleh sebab itu, ”peniruan” yang dilakukan para pengelola restoran untuk menikmati berkah semesta in situ tak lebih dari simulacrum sebagaimana yang dirumuskan oleh Baudrillard.
Sesungguhnya, anak-anakku, mungkin juga kau dan generasi di masa kini, sungguh sulit membedakan mana realitas yang sungguh-sungguh nyata dan mana ”realitas maya” yang seolah-olah menjadi nyata. Dalam era konsumsi, kita hidup di tengah-tengah simulacrum, sesuatu yang dibangun untuk menarik perhatian dan menciptakan imajinasi baru tentang keindahan.
Lebih-lebih apa yang kini kita lakoni sehari-hari di masa pandemi ini. Teknologi seolah menjadi jawaban atas semua keterbatasan yang dimiliki manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Tetapi, ruang maya, di mana kini kita semua berkerumun, sesungguhnya dalam pandangan Baudrillard tak lebih dari ruang-ruang simulasi, yang penuh kepalsuan.
Kau dan aku bisa memalsukan tampilan wajahmu di media sosial yang kini populer, seperti Zoom atau Google Meet. Lalu, kepalsuan itulah yang terus-menerus ”dikonsumsi” publik dan dianggap sebagai ”kebenaran” baru.
Sesungguhnya, anak-anakku, mungkin juga kau dan generasi di masa kini, sungguh sulit membedakan mana realitas yang sungguh-sungguh nyata dan mana ”realitas maya” yang seolah-olah menjadi nyata.
Oh, aku sekarang benar-benar merasa khawatir, jangan-jangan makanan yang kita konsumsi dewasa ini adalah simulasi-simulasi yang sebenarnya palsu adanya? Kalau benar-benar itu palsu, lalu di mana kebenaran sejati? Ingatanku tentang nasi kepel made in kampung berkelindan dengan nasi bento made in Japan.
Setiap kali menyantapnya, keindahan itu bertumpang tindih, lalu meletup sebagai keraguan terhadap biografi diri sendiri. Akankah kita kembali mereguk kebenaran yang tercecer di masa lalu atau terus saja melakoni hidup walau harapan itu terkadang meragukan? Silakan kau pilih yang mana….