Kontestasi Gagasan Berbangsa
Salah satu produk reformasi yang paling spektakular adalah tampilnya Joko Widodo sebagai presiden yang datang dari rakyat biasa. Dia bukan elite partai, bukan jenderal, bukan konglomerat, bukan pula tokoh intelektual.
Suhu politik nasional menjelang Pemilu 2024 sudah mulai menghangat. Pimpinan partai politik dan para kader-nya mulai sibuk merancang strategi untuk memenangi kontestasi.
Secara kuantitatif, yang jadi ukuran sebuah kemenangan adalah kenaikan jumlah kursi sebanyak-banyaknya di parlemen, jumlah jatah kursi di jajaran kabinet, dan puncaknya merebut kursi presiden atau wakil presiden. Di luar jabatan itu ada kursi lain yang diincar kader partai, seperti posisi di lingkungan BUMN dan jadi duta besar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pendeknya, kemenangan politik itu diukur dengan keberhasilan menangkap posisi dan jabatan dalam birokrasi pemerintahan yang ujungnya fasilitas dari negara. Makanya tak heran jika para pemburu jabatan itu mau mengeluarkan ongkos yang tidak murah, baik pikiran, uang, maupun tenaga. Jer basuki mawa beya. Untuk meraih keberuntungan itu membutuhkan biaya. Akibat dari pendangkalan makna dan agenda perjuangan politik dengan disertai ongkos yang mahal, parpol menjadi instrumen dan mitra strategis bagi para pemodal untuk membangun sebuah oligarki. Aset dan jabatan kenegaraan dikapitalisasi untuk kepentingan bisnis yang jumlah asetnya bisa menyaingi besaran APBN.
Pendeknya, kemenangan politik itu diukur dengan keberhasilan menangkap posisi dan jabatan dalam birokrasi pemerintahan yang ujungnya fasilitas dari negara.
Kembalikan kemuliaan politik
Dari sekian buku yang saya baca, pada mulanya ilmu dan praksis politik itu sangat mulia. Tujuan dan fungsinya untuk mengatur lalu lintas dan jejaring kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dari suatu bangsa dan negara. Aristoteles mengatakan bahwa semua cabang ilmu itu akhirnya mesti tunduk dan melayani pada praksis politik dalam rangka menciptakan kedamaian, kemajuan, dan kebahagiaan bagi warga negara.
Sedemikian rupa vital dan mulianya peran politik dalam menjaga dan memajukan sebuah bangsa dan negara sehingga yang masuk dalam kekuasaan politik mestilah putra-putri bangsa terbaik yang dijaring melalui mekanisme yang sehat, transparan, dan fair. Jangan sampai putra-putri terbaik bangsa yang punya semangat dan kompetensi untuk ikut serta memajukan dan memakmurkan rakyat malah tergusur ke pinggir digantikan mereka yang tak berkualitas semata karena bermodal uang banyak untuk membeli dukungan suara dan memiliki kedekatan dengan elite partai.
Partai politik boleh timbul tenggelam. Atau mati dan tumbuh lagi. Orde politik pun boleh berakhir disusul dengan orde yang baru dengan nama yang juga baru. Namun prinsip dan nilai-nilai dasar untuk menjaga kemuliaan politik mesti dijaga, tidak boleh diinjak-injak. Salah satunya adalah prinsip keadilan.
Dalam teori politik Islam, keadilan menempati syarat utama bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang adil adalah yang memiliki komitmen dan kapasitas untuk melindungi hak-hak warga negara yang memang jadi haknya. Oleh karena-nya pemimpin yang adil tak akan mau mengambil fasilitas negara dan milik orang lain yang bukan haknya. Pemimpin yang adil anti pada diskriminasi dan kolusi karena keduanya merusak prinsip fairness dan akuntabilitas publik.
Sejarah mengajarkan, berbagai kekacauan politik biasanya berakar pada pemerintahan yang zalim, kebalikan dari pemerintahan yang adil. Prinsip keadilan ini jika ditegakkan akan berjalan seiring agenda pemberantasan korupsi dan implementasi prinsip meritokrasi. Dalam istilah pesantren, adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u syaiin fi mahalihi).
Baca juga Politik ”Kanthong Bolong”
Baca juga Pemimpin Indonesia ke Depan
Kaidah ini biasanya digandengkan dengan sabda Nabi: Jika sebuah pekerjaan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Muatan nasihat ini bersifat universal dan sangat mudah dibuktikan kebenarannya. Terlebih lagi jika pekerjaan itu tugas pokoknya mengurus sebuah negara. Jika salah pilih orang yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif, dan kepala negara, pemerintahan akan amburadul dan rakyat yang akan menjadi korban.
Rakyat sesungguhnya akan taat dan respek pada pemerintah sekalipun ekonomi pailit selama pemerintah dan wakil rakyat menunjukkan kinerja secara sungguh-sungguh, menegakkan keadilan dan bekerja sesuai kompetensinya serta tampil sebagai sosok teladan dalam mewujudkan hidup yang bersih, jujur dan transparan. Di situlah ruh dan pilar kemuliaan politik. Namun jika prinsip-prinsip itu tak diwujudkan, panggung politik berbalik menjadi dunia yang gelap dan kejam, penuh permainan kotor saling jegal untuk berebut kekuasaan dengan cara-cara yang tak terpuji.
Kemudian politisi pun sering dianalogkan dengan ikan lele yang lebih menyukai hidup di air keruh, berlumpur, dan tak tembus cahaya matahari. Idealnya melihat panggung politik bagaikan menyaksikan pertandingan sepak bola yang mengandalkan perpaduan antara kekuatan tenaga, otak, dan seni sehingga penonton bagai melihat ikan di dalam akuarium, bisa menilai kualitas masing-masing pemain dan bisa mengagumi permainan bintang-bintang pujaannya.
Merindukan terobosan baru
Saya teringat ucapan Cak Nur (Nurcholish Madjid) bahwa politik di Indonesia selalu mengalami perubahan tema dan aktor setiap peralihan generasi. Satu generasi berlangsung antara 20 tahun dan 25 tahun, seiring proses dan capaian pendidikan seseorang. Jika dihitung sejak kelahiran, memasuki usia 25 tahun seseorang sudah menjadi sarjana dan memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak sesuai pilihannya.
Jika teori ini digunakan untuk melihat perjalanan bangsa Indonesia, maka 20 Mei 1908 berdiri gerakan Boedi Oetomo yang selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tahun 1928 dikenang sebagai hari Sumpah Pemuda. Tahun 1945 berdiri Republik Indonesia.
Diperlukan proses panjang dan ongkos sosial sangat mahal untuk melakukan konsolidasi bernegara.
Setelah berdiri, ternyata muncul berbagai tantangan baru yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Diperlukan proses panjang dan ongkos sosial sangat mahal untuk melakukan konsolidasi bernegara. Konflik sesama putra bangsa bermunculan yang memuncak pada tragedi 31 Oktober 1965, sejarah kelam dalam lembaran politik dan ekonomi Indonesia yang dampaknya masih berlangsung sampai hari ini.
Pada 21 Mei 1998 terjadi lagi pergeseran tema dan aktor di panggung politik nasional dengan berakhirnya kepemimpinan Soeharto. Pak Harto lupa atau tak jeli mengamati munculnya generasi baru yang sudah memahami makna dan semangat demokrasi yang menuntut tegaknya pemerintahan yang adil, demokratis, dan bersih. Akhirnya dia digulingkan anak-anaknya sendiri yang mengenyam pendidikan produk Orde Baru yang menghendaki perubahan dan penyegaran paradigma politik akibat orde yang ada telah membusuk.
Maka mulailah proses pembentukan Orde Reformasi dalam suasana marah sebagai antitesis terhadap praktik politik Orde Lama dan Orde Baru yang dianggap korup dan otoriter. Konsolidasi pasca-Orde Baru untuk mewujudkan Orde Reformasi ternyata jalannya cukup berliku dan mulai mapan sejak Pemilu 2004. Sejak itu tradisi pemilu lima tahunan berlangsung mapan dan pada 2024 akan diselenggarakan pemilu raya. Artinya, 2024 nanti pemilu berlangsung pada momen peralihan generasi. Jika para politisi dan pemimpin tak jeli membaca tanda-tanda zaman, mereka yang akan tergilas zaman.
Jika dilihat ke belakang, kemunculan sebuah orde politik di panggung nasional selalu didorong rasa kekecewaan dan kemarahan yang dalam sehingga konsep baru yang dilahirkan tak solid dan matang. Ini terlihat juga dalam Orde Reformasi yang niatnya bagus dengan tiga agenda utama. Satu, membuka pintu demokrasi lebar-lebar sebagai antitesis terhadap pemerintahan yang otoriter, lalu dibuka peluang bagi rakyat untuk mendirikan partai politik tanpa pembatasan seperti masa Orde Baru.
Dua, penetapan masa jabatan presiden maksimal hanya dua kali berturut-turut sebagai kritik terhadap masa kepresidenan sebelumnya yang tak terbatas. Tiga, desentralisasi kekuasaan sebagai antitesis terhadap pemerintahan yang sentralistik agar mata rantai pelayanan pada rakyat semakin pendek. Selain itu juga dibentuk sekian banyak lembaga komisioner sebagai wadah partisipasi publik untuk membantu dan mengawasi lembaga eksekutif.
Tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi, kualitas tuntutan mereka pada pemerintah juga meningkat.
Salah satu produk reformasi yang paling spektakuler adalah tampilnya Joko Widodo sebagai presiden yang datang dari rakyat biasa. Dia bukan elite partai, bukan sosok jenderal, bukan konglomerat, bukan pula tokoh intelektual. Dia simbol gelombang demokratisasi dalam sistem politik yang memungkinkan siapa saja bisa bermimpi jadi presiden.
Dengan merujuk siklus perubahan politik nasional setiap dua dekade, di pengujung era Reformasi ini kelihatannya mulai muncul kelelahan dan pembusukan mesin birokrasi politik yang juga pernah terjadi di pengujung era Orde Lama dan era Orde Baru. Wabah korupsi kembali menggerogoti uang negara. Korupsi berlangsung terdesentralisasi dan sistemik di hampir semua lini birokrasi baik di pusat maupun daerah.
Wujud korupsi tak sebatas menilap uang, tetapi lebih canggih lagi menyusup pada korupsi kebijakan publik yang dikendalikan sekelompok oligar melalui mesin partai. Jadi, untuk melawan korupsi saat ini tak bisa hanya diarahkan pada sosok presiden sebagai pusat kendali pemerintahan karena kekuasaan pemerintahan sudah tersebar sehingga pelaku korupsi juga tersebar, baik pada institusi parpol, pemerintah daerah maupun para pejabat negara.
Ini terjadi dikarenakan, salah satu penyebabnya, ongkos politik yang teramat mahal untuk meraih jabatan legislatif dan eksekutif. Dalam situasi demikian, maka sebelum masuk perhelatan memilih anggota legislatif dan memilih pasangan presiden dan wapres, diharapkan muncul gagasan dan program baru yang segar, visioner, dan konstruktif dari para tokoh politik untuk memasuki orde post-Reformasi yang secara generasional mendekati berakhir.
Kompleksitas tantangan
Tak bisa dimungkiri bahwa dari sisi ketersediaan sandang, pangan, kendaraan, kesehatan, dan pendidikan, sekarang ini jauh lebih baik ketimbang masa-masa sebelumnya. Namun mesti pula disadari problem dan tuntutan hidup berbangsa dan bernegara semakin berat dan kompleks. Tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi, kualitas tuntutan mereka pada pemerintah juga meningkat.
Rakyat menuntut pemerintahan yang demokratis, bersih, penegakan hukum secara tegas, ketersediaan lapangan kerja, menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa. Rakyat juga semakin sadar terjadinya intervensi kekuatan asing yang mengeksploitasi kekayaan alam dan berpretensi menjegal pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tema ini dulu tak begitu menonjol, mengingat konflik yang terjadi masih antarsesama anak-anak bangsa sendiri. Kekuatan ideologi transnasional sejak dulu sudah ada, tetapi sekarang semakin terbuka.
Rakyat menunggu pemikiran dan program besar yang hendak ditawarkan para politisi yang mau bertarung.
Bertemunya budaya digital, semangat demokrasi dan meningkatnya pendidikan rakyat membuat masyarakat semakin bebas dan kritis menyampaikan kritik dan aspirasinya. Birokrasi pemerintahan selalu tertinggal merespons dinamika dan problem sosial yang selalu terkesan berisik dan gaduh (noisy and restless). Rakyat dengan mudah membaca jejak-jejak digital para politisi yang akan maju bertarung. Rakyat menunggu pemikiran dan program besar yang hendak ditawarkan para politisi yang mau bertarung. Apa sikap dan kritik mereka terhadap realitas politik selama era Reformasi dan konsep apa yang baru memasuki era post-Reformasi.
Jika problem bangsa yang sumbernya di level hulu tak dibereskan secara mendasar, kita akan terjebak bertengkar membahas problem di hilirnya saja. Tantangan membangun bangsa ke depan lebih berat karena problem yang ada di hulu dan hilir sudah tali-temali. Rakyat sekarang akan selalu kritis mengamati, mengawal, dan menagih implementasi cita-cita kemerdekaan dan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang dirasa masih jauh. Ataukah semakin jauh?
(Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia)