Sengkarut Verifikasi Partai Politik
Verifikasi partai politik selalu menyita perhatian banyak pihak. Selain karena tahap yang sangat menentukan bagi masa depan partai politik di Indonesia, juga sering kali diwarnai kerawanan dan bias kepentingan politik.
Isu hangat verifikasi partai politik yang mencuat minggu kedua Desember 2022 sangatlah mengejutkan.
Berita majalah Tempo, ”Operasi Meloloskan Tiga Partai”, bukanlah berita baik menjelang penetapan partai politik peserta Pemilu 2024 pada 14 Desember 2022.
Somasi yang mewakili sembilan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari lima kabupaten/kota dan dua provinsi, termasuk pegawai bagian teknis sekretariat KPU di daerah kepada KPU karena diduga ada intimidasi, juga menjadi catatan penting lainnya (Kompas, 14/12/2022).
Dugaan manipulasi data dan intimidasi dalam proses verifikasi parpol tidak bisa dibiarkan oleh KPU.
Alasannya jelas, verifikasi parpol menjadi salah satu tolok ukur penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, jujur, adil, transparan, dan akuntabel.
Verifikasi parpol juga sangat krusial dalam tahapan pemilu. Apabila prosesnya cacat (flawed), akan memengaruhi tahapan-tahapan berikutnya yang melibatkan parpol sebagai peserta pemilu.
Di sinilah nilai substansial verifikasi parpol dalam tahapan pemilu di Indonesia. Selain sebagai fondasi bagi tahapan-tahapan selanjutnya, parpol adalah aktor utama pemilu yang akan menyediakan sumber daya kepemimpinan di legislatif dan eksekutif.
Tak heran, verifikasi parpol selalu menyita perhatian banyak pihak. Selain karena tahap yang sangat menentukan bagi masa depan parpol di Indonesia, juga sering kali diwarnai kerawanan dan bias kepentingan politik.
Baca juga : Dugaan Manipulasi Verifikasi Parpol, Komisioner KPU Diadukan ke DKPP
Baca juga : Data Hasil Verifikasi Faktual Parpol Diduga Dimanipulasi
Perbedaan paradigma
Verifikasi parpol pada Pemilu 2024 sebenarnya berbeda dengan verifikasi parpol pada pemilu sebelumnya.
Perbedaan itu akibat adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang hanya mewajibkan satu tahap verifikasi administratif bagi parpol yang lolos ambang batas parlemen pemilu sebelumnya.
Sementara bagi partai politik yang baru berdiri dan/atau partai lama yang tidak lolos ambang batas parlemen, harus melalui verifikasi dua tahap, administrasi dan faktual.
Dalam perspektif kepemiluan di Indonesia, verifikasi parpol dimaksudkan untuk mengaudit kelembagaan partai politik. Perkembangan organisasi dari sisi kepengurusan, kantor, keterwakilan 30 persen perempuan, dan keanggotaan setiap periode pemilu.
Selain tujuan untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu, verifikasi administratif dan faktual juga bisa menggambarkan pelembagaan partai politik dari waktu ke waktu.
Sayangnya, keputusan MK di atas mengubah paradigma itu. Akibatnya, laporan administratif pada Sipol KPU hanya tekstual, bukan kontekstual.
Perdebatan parpol lama yang lolos ambang batas parlemen hanya melalui verifikasi administratif bisa berbeda dengan realitas organisasi parpol yang sesungguhnya. Sementara bagi partai baru dan yang tak lolos ambang batas parlemen harus memenuhi dua tahap verifikasi. Dampaknya, proses verifikasi parpol di Indonesia dilakukan dengan tiga rezim pengaturan yang berbeda.
Rezim pertama adalah persyaratan badan hukum parpol di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Untuk memperoleh badan hukum, parpol harus memenuhi syarat minimal, yakni memiliki pengurus di tingkat pusat, minimal 75 persen pengurus tingkat provinsi, dan 50 persen pengurus di kabupaten/kota.
Kedua, rezim pengaturan untuk menjadi peserta pemilu yang dibedakan menjadi dua. Persyaratan ini agak berbeda dengan partai sebagai badan hukum, selain berbadan hukum juga harus memiliki pengurus di tingkat pusat, 100 persen pengurus di tingkat provinsi, 75 persen pengurus di tingkat kabupaten/kota, dan 50 persen pengurus di tingkat kecamatan.
Perbedaan lainnya, harus menyertakan keterwakilan 30 persen perempuan pada kepengurusan dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik.
Kritik atas dua rezim verifikasi ini sudah sering dikemukakan, tetapi tidak pernah dicari jalan keluarnya.
Perbedaan paradigma verifikasi parpol untuk memperoleh badan hukum dan peserta pemilu yang tidak disinergikan dianggap menjadi beban bagi partai, khususnya partai baru berdiri. Hal itu menyebabkan proses yang ”mahal” dan panjang yang harus dilalui oleh parpol, khususnya partai baru.
Kritik atas dua rezim verifikasi ini sudah sering dikemukakan, tetapi tidak pernah dicari jalan keluarnya. Implikasinya, setiap menjelang pemilu, partai mengalami beban ganda, di satu sisi harus lolos lubang jarum sebagai peserta pemilu, di sisi lain harus mempersiapkan kesiapan organisasi dalam demokrasi elektoral.
Jalan berliku pemenuhan syarat sebagai badan hukum yang juga dirasa berat oleh partai menyebabkan adanya ”jalan pintas” bagi sebagian partai baru agar memperoleh status badan hukum partai. Fenomena ”jual beli” badan hukum partai agar bisa mendaftar sebagai peserta pemilu hanyalah salah satu puncak gunung es permasalahan verifikasi parpol.
Kasus ”jual beli” ini biasanya dilakukan dengan cara mengubah AD/ART parpol dengan melakukan perubahan nama partai. Sejumlah partai yang menjadi peserta Pemilu 2019 memperoleh badan hukum partai dengan cara itu.
Pada Pemilu 2014 tercatat, misalnya, Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) dan Partai Nasional Republik (PNR) yang juga melakukan hal yang sama, yakni menggunakan badan hukum partai yang sudah ada.
”Jual beli” badan hukum partai ini terjadi akibat sumirnya peraturan perundang-undangan dan tidak adanya audit badan hukum partai di Indonesia.
Akibatnya, jumlah parpol berbadan hukum terus-menerus harus dijadikan sebagai basis bagi KPU setiap menjelang pemilu pada saat pendaftaran peserta pemilu. Hingga saat ini parpol berbadan hukum yang tercatat pada Kemenkumham jumlahnya masih ratusan.
Rawan sengketa
Sebagai sebuah metode, verifikasi parpol harus memenuhi uji validitas dan reabilitas secara ilmiah.
Maksudnya, metode yang digunakan oleh KPU di semua tingkatan bisa ditelusuri kembali oleh pihak independen dan/atau oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ataupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta pihak peradilan manakala terjadi silang sengkarut dan perselisihan.
Metode uji keabsahan ini akan menentukan prosedur dan deviasi atas verifikasi administratif ataupun faktual yang dilakukan oleh KPU di semua tingkatan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 174 Ayat (3) serta Pasal 178 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Keniscayaan proses serta prosedur yang transparan dan akuntabel menjadi salah satu indikator agar suara sumir tidak menyudutkan penyelenggara.
Isu manipulasi data bisa membuat cacat keputusan KPU karena metode penentuan keabsahan dokumen persyaratan yang tidak transparan ”sering kali” menimbulkan kontroversi. Uji petik atas dokumen persyaratan yang paling rawan biasanya pada keanggotaan parpol.
Umumnya partai-partai baru gagal dalam memenuhi persyaratan (MS/TMS) atas dasar enam kategori, yakni anggota parpol dari PNS, TNI, Polri, belum 17 tahun dan belum menikah, kegandaan internal partai, serta kegandaan antarpartai.
Pengujian terhadap daftar anggota ganda, pencatutan nama warga negara, ada/tidaknya anggota TNI-Polri dan ASN, serta warga negara yang belum berusia 17 tahun sebagai anggota parpol tergolong mendominasi keabsahan persyaratan parpol peserta pemilu.
Metode uji keabsahan sampel dari anggota yang diberikan oleh partai dengan ketentuan 100 anggota dengan sampel 10 persen (sepuluh anggota) dan lebih dari 100 anggota dengan sampel 5 persen (bergantung pada jumlah anggota yang dilampirkan) yang tersebar di 50 persen kecamatan, bisa menimbulkan paradoks.
Walau daftar sampel yang diuji berasal dari parpol itu sendiri, proses verifikasi faktual sering memicu sengketa.
Meskipun telah diatur pada ketentuan PKPU No 4/2022, pembuktian persyaratan, yang paling rumit dari penelusuran faktual adalah verifikasi keanggotaan partai. Umumnya partai-partai baru gagal dalam memenuhi persyaratan (MS/TMS) atas dasar enam kategori, yakni anggota parpol dari PNS, TNI, Polri, belum 17 tahun dan belum menikah, kegandaan internal partai, serta kegandaan antarpartai.
Syarat keterwakilan 30 persen perempuan pada pengurus partai juga sering kali menjadi momok bagi partai baru. Dampaknya sering timbul kekecewaan dan perselisihan akibat perbedaan persepsi dalam memaknai hasil klarifikasi yang seakan-akan menemukan kekurangan atas keabsahan syarat, tetapi dianggap oleh kalangan partai hanya bersifat minor.
Kegaduhan dalam verifikasi parpol saat ini seharusnya tidak terjadi manakala para penyelenggara pemilu telah menyiapkan mitigasi uji ilmiah secara bersama-sama, di mana pada saat verifikasi berlangsung, Bawaslu dan juga parpol melekat pada pembuktian kesahihan metode dan hasil verifikasi faktual.
Selain itu, dengan proses dan tahapan verifikasi yang transparan bisa meminimalkan dugaan-dugaan penyimpangan yang bisa dianggap sebagai malapraktik tata kelola pemilu.
Moch Nurhasim Direktur Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan-DKP BRIN