Mahal dan Murahnya Biaya Politik
Biaya politik mahal merupakan persoalan sangat klasik. Solusi untuk mencegah atau minimal mengurangi terjadinya ”biaya politik mahal” tak cukup hanya pembenahan sistem, tetapi juga perbaikan mental dan moral berpolitik.
Seperti diberitakan harian Kompas edisi Rabu (29/3/2023), Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahny, yang anggota Komisi III DPR, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan korupsi. Kini keduanya ditahan di rumah tahanan KPK.
Hasil korupsi Ben dan Ary yang diperkirakan Rp 8,7 miliar itu digunakan untuk kepentingan politiknya, yaitu membiayai lembaga dua survei nasional yang mereka sewa. Uang hasil korupsi tersebut juga digunakan untuk biaya operasional pemilihan Bupati Kapuas tahun 2018 dan Pemilu Legislatif 2019.
Faktor yang melatarbelakangi Ben dan Ary korupsi tersebut seolah memberi simpulan bahwa biaya politik di negeri ini sudah di atas ambang kewajaran. Kita yakin bahwa alasan tersebut bukan isapan jempol karena fakta dan realita sudah dapat dijadikan sebagai bukti.
Baca juga: Bupati Kapuas dan Istri Korupsi buat Biaya Politik
Busyro Muqoddas, Ketua KPK periode 2010-2011, saat acara kuliah tamu di pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) pada Oktober 2022, mengatakan bahwa biaya politik yang mahal memicu para pejabat, politisi, dan lainnya berkorupsi. Mengutip hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya politik bupati/wali kota rata-rata Rp 30 miliar, sedangkan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.
Tidak mengherankan sebagian politikus yang hanya memiliki kekayaan pas-pasan berujung jatuh miskin setelah gagal dalam kontestasi politik kekuasaan tersebut. Pun sebagian yang berhasil melenggang ke tampuk kekuasaan dan menjadi ”wakil rakyat” di parlemen atau yang menjadi kepala daerah tidak jarang yang terlilit utang dalam jumlah fantastis.
Tajuk Rencana Kompas edisi Kamis (30/3/2023) menuliskan, "Biaya Politik Memang Mahal". Banyak politikus yang terjerat korupsi karena harus membiayai syahwat politiknya, seperti ingin menjadi wakil rakyat, kepala daerah, atau pejabat negara. Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 2022, sebanyak 343 anggota DPR/DPRD dan 178 kepala daerah terjerat korupsi. Masih ada 310 pejabat eselon I, II, III, dan IV yang berurusan dengan KPK.
Banyak politikus yang terjerat korupsi karena harus membiayai syahwat politiknya, seperti ingin menjadi wakil rakyat, kepala daerah, atau pejabat negara.
Baca juga: Terlibat 3 Kasus Korupsi, Bupati Meranti Himpun Dana untuk Maju di Pilgub Riau
Namun, soal biaya politik mahal sejatinya merupakan persoalan sangat klasik. Berbagai akar masalah yang menjadi penyebab biaya mahal pun sudah banyak ketahui dan diurai. Namun, lagi-lagi, kekuasaan itu laksana ”kembang gula” yang mudah mengundang kehadiran semut. Teori-teori rasional yang banyak ditulis oleh pakar dan ahli untuk menghindari politik berbiaya mahal pun diabaikan—atau bahkan dicibir—oleh mereka yang sudah tergila-gila dengan kekuasaan dan syahwat berkuasanya sudah naik di ubun-ubun.
Mental dan moral berpolitik
Karena itu, solusi untuk mencegah atau minimal mengurangi terjadinya ”biaya politik mahal” tidak cukup hanya pada pembenahan sistem, tetapi juga perbaikan mental dan moral dalam berpolitik. Sistem yang baik sehingga secara logika mampu mencegah terjadinya tindakan koruptif oleh para politikus/pejabat dengan alasan biaya politik mahal belumlah cukup dan berpotensi untuk dimanipulatif jikalau mental dan moral baik belum kunjung hadir.
Pertanyaannya, dapatkah politikus dan pejabat menempatkan kekuasaan sebagai amanah yang bisa dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan sekaligus di hadapan Tuhan?
Kesadaran untuk mempertanggungjawabkan amanat di hadapan rakyat karena fondasi kekuasaan politik pemerintahan di Indonesia menganut prinsip kedaulatan di tangan rakyat. Politikus yang sedang menjabat sebagai wakil rakyat dan pejabat merupakan personal yang ditunjuk dan diamanahi oleh rakyat untuk menjalankan roda kekuasaan secara bermoral dan berkeadaban.
Baca juga: Korupsi dan Biaya Politik
Dalam perspektif Islam, kekuasaan/jabatan merupakan beban berat yang harus dijalankan. Karena jabatan merupakan hal yang sangat berat, yang tidak setiap orang mampu memikulnya, maka Islam melarang seseorang untuk meminta-minta jabatan (la tas alul imarah). Jabatan merupakan ”hasil dari kepercayaan rakyat/Tuhan”, bukan permintaan. Pada sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Bukhari).
Vox populi, vox dei. ”Suara rakyat” adalah ”suara Tuhan”. Kalimat sakral bagi para penganut demokrasi ini tentu sudah larut dan bersenyawa dalam darah para politikus/pejabat yang menisbahkan diri sebagai pengemban amanat rakyat. Kalimat tersebut bukan kata mutiara yang sekadar indah untuk diucapkan dalam kampanye atau untuk memengaruhi massa, melainkan merupakan ”kalimat ikrar atau janji” yang harus dipertanggungjawabkan.
Mahal murahnya biaya politik sebenarnya cukup relatif, dipengaruhi oleh motivasi atau niat seseorang tersebut untuk menjadi politikus maupun pejabat publik. Bagi politisi dan atau pejabat yang berkehendak untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalur menerabas yang cenderung menghalalkan segala cara, tentu akan membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Sebaliknya, bagi yang memahami bahwa sebuah kekuasaan yang di cita-citakan dan akan diraihnya sebagai sebuah proses sosial tentu akan membutuhkan ongkos finansial (material) yang relatif lebih kecil, tetapi membutuhkan perjalanan waktu yang lebih panjang dan berliku. Ironisnya, tidak banyak para ambisius kekuasaan yang memahami dan menyadari proses ini.
Ben dan Ary satu di antara para pemimpi akan kekuasaan yang tidak menganut ”jalur proses”, tetapi lebih mengikuti ”jalur jalan pintas” tersebut. Ada sejumlah alasan yang dapat dijadikan pembenar bagi para penganut jalan pintas itu.
Para penganut ’jalan pintas’ pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki elektabilitas dan popularitas yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Para penganut ”jalan pintas” pada umumnya adalah orang-orang yang tidak memiliki elektabilitas dan popularitas yang baik di tengah-tengah masyarakat. Selain karena sesungguhnya bukan tokoh publik nan profesional yang berpotensi memiliki pendukung dan ”penggemar”, juga tidak memiliki kedekatan emosional dengan rakyat pada umumnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan para tokoh publik yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi dan memiliki kedekatan emosional yang kuat.
Tragisnya, panggung politik kekuasaan di negeri ini lebih didominasi oleh politikus jalan pintas daripada politikus yang tumbuh melalui proses sosial yang memakan waktu panjang dan berliku. Terlebih lagi, politikus ”jalur proses” tidak begitu gegabah dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan dalam ruang kekuasaan jika merasa dirinya belum memiliki kesiapan.
Mereka yang menganut aliran ”jalan pintas” memandang bahwa kekuasaan adalah segala-galanya karena itu perlu segala cara untuk meraihnya dan dengan segala cara pula untuk mempertahankannya. Kekuasaan diyakini sebagai keabadian.
Baca juga: Jajak Pendapat ”Kompas”: Politik Uang Kian Membelenggu
Karena harga politik itu bergantung pada elektabilitas dan popularitas partai politik dan politisinya, maka kemampuan mengukur dan tidak memaksakan diri menjadi ”kata kunci”. Namun, kemampuan dan kemauan mengukur dan tidak memaksakan diri itu tentu hanya dimiliki oleh parpol dan politisi yang sungguh-sungguh mengabdi untuk bangsa. Jika yang diutamakan itu hanya ambisi pribadi dan golongan atau kelompok, yang diperlukan adalah ”hukuman” dari rakyat.
Mengajarkan kepada rakyat untuk lebih cerdas pada nalar dan moralnya dalam melawan kekuatan ”politik hitam” menjadi keniscayaan. Pencerahan wawasan kepada rakyat agar menyadari bahwa politik uang pasti akan berujung pada penistaan terhadap harkat martabat dan masa depan rakyat.
Politik tipu-tipu harus segera dihentikan dan yang mampu menghentikan tentu hanya rakyat. Maka, di hadapan rakyat yang cerdas, politik jalan pintas dapat diberantas. Sebaliknya, di hadapan rakyat yang bodoh, politik jalan pintas pasti akan makin bernas.
Abd Sidiq Notonegoro, Akademisi di Universitas Muhammadiyah Gresik; Pemerhati Sosial
Facebook: abd.sidiq.notonegoro