OTT dan Kolaborasi Basmi Korupsi
Banyak upaya yang telah diperbuat di negeri ini untuk mencegah praktik korupsi. Namun, faktanya, tetap saja korupsi terus terjadi, bahkan makin gila-gilaan. Saatnya aparat penegak hukum berkolaborasi dan bersinergi.
Sebagai manusia normal yang punya iman, hati, akal, dan pikiran, seharusnya korupsi tak akan ditoleransi, apalagi dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, bahkan nilai yang dikorupsi makin menggila.
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corroptus. Kedua kata itu berasal dari bahasa Latin yang lebih tua, yaitu corrum-pere.
Kata itu kemudian melenggang ke dalam bahasa Perancis dan Inggris, corruption, dan selanjutnya diserap ke dalam bahasa Belanda, corruptie/korruptie. Dari bahasa Belanda—yang pernah menjajah Indonesia sekaligus mengenalkan hukum Barat ke Indonesia—kata korruptie tersebut berubah menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Arti sebenarnya dari korupsi adalah ’busuk’, ’rusak’.
Entah akan ada kasus jumbo apa lagi yang akan diungkap penegak hukum setelah kita disuguhi kerja keras dan kerja cepat kejaksaan menangani kasus- kasus dengan nilai kerugian negara sangat fantastis. Sebut saja kasus asuransi Jiwasraya, kasus CPO, dan kasus BTS, yang nilai kerugian negaranya masing-masing triliunan rupiah.
Baca juga : Republik Korupsi
Sukses kejaksaan tak diikuti KPK
Sayangnya, prestasi kejaksaan tidak diikuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), padahal alasan dibentuknya KPK adalah karena kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak efektif.
Selama ini masyarakat merasa senang dan puas terhadap kinerja KPK dalam memberantas korupsi, khususnya melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Namun, muncul pernyataan yang sepertinya ”keberatan” dengan adanya OTT yang dilakukan KPK, dengan alasan membuat negeri ini menjadi malu. Padahal, OTT adalah salah satu ”kelebihan” KPK dibandingkan dengan kejaksaan dan kepolisian yang tak punya kewenangan tersebut. OTT juga dapat menjadi instrumen untuk memutus perbuatan korupsi sebelum menjadi besar.
Sulit kita bayangkan pamor KPK di masa depan jika OTT tak lagi dilakukan oleh KPK. Terkait ”rasa malu”, justru OTT akan memberikan rasa takut dan khawatir kepada siapa pun untuk melakukan korupsi. Apalagi dalam teori pemberantasan kejahatan, OTT adalah salah satu cara naming and shaming agar timbul efek cegah dan jera. Perasaan malu akan menjadi lebih besar jika karena tak ada OTT, korupsi yang semula dapat dihentikan berlanjut dan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar.
Banyak upaya yang telah diperbuat di negeri ini untuk mencegah praktik korupsi. Mulai dari pencanangan good corporate governance, good government governance, pembangunan whistle blowing system, hingga penyediaan aplikasi Lapor di Kantor Staf Presiden. Upaya lain adalah pemberdayaan aparatur pengawasan intern instansi pemerintah, pembangunan sistem pengendalian intern pemerintah, dan pembentukan satuan pengawas intern di BUMN.
Namun, faktanya, tetap saja korupsi terus terjadi, bahkan makin gila-gilaan. Oleh karena itu, seyogianya OTT tetap harus dilakukan KPK dengan penerapannya secara terukur dan tidak dilakukan sebagai ajang pamer.
Menarik mencermati ucapan Ketua KPK di media bahwa kejaksaan ikut "perang badar" bersama KPK dalam memerangi korupsi. Entah apa yang dimaksud Ketua KPK dengan ungkapan itu karena faktanya saat ini justru kejaksaan yang berada di depan dibandingkan dengan KPK dalam penanganan korupsi. Baik dilihat dari jumlah, kualitas, kompleksitas kasus, maupun nilai kerugian negara yang dikorupsi para pelaku.
Karena kinerjanya yang bagus tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan menurut survei Indikator meningkat menjadi 80,6 persen. Bandingkan dengan Polri yang 73,2 persen dan KPK yang 72,4 persen. Walaupun ucapan Ketua KPK tidaklah tepat, harus kita akui bahwa ada semangat yang hendak dimunculkan oleh Ketua KPK, yaitu adanya langkah yang sama antara KPK dan kejaksaan dalam memberantas korupsi.
Entah apa yang dimaksud Ketua KPK dengan ungkapan itu karena faktanya saat ini justru kejaksaan yang berada di depan dibandingkan dengan KPK dalam penanganan korupsi.
Kebersamaan yang disampaikan Ketua KPK itu sesungguhnya sudah lama dilakukan kejaksaan dan kepolisian kepada KPK, antara lain dengan menugaskan jaksa dan polisi ke KPK.
Melihat karakter tindak pidana korupsi yang umumnya dilakukan oleh orang yang mempunyai level pendidikan yang relatif tinggi, dengan modus yang canggih dan perlu upaya yang luar biasa untuk mengungkapnya, seyogianya kebersamaan dalam memberantas korupsi dilakukan lebih intensif dan lebih erat polanya.
Sinergi dan kolaborasi
Korupsi yang di dalam penjelasan umum UU No 31/1999 disebut sebagai extraordinary dalam kenyataan menjadi hal yang sangat merugikan negara, baik dari aspek keuangan, perekonomian, reputasi, maupun aspek sosial lainnya. Untuk itu, seharusnya korupsi dijadikan musuh bersama. Sebagai musuh bersama, pencegahan dan pemberantasannya haruslah dilakukan secara bersama (sinergi), tidak cukup hanya dengan kerja sama seperti yang sudah dilakukan selama ini.
Sinergi ini sangat dibutuhkan mengingat kewenangan setiap penegak hukum tidaklah sama. Misalnya, penyidik PNS dari Bea Cukai hanya berwenang menangani kasus yang berhubungan dengan tindak pidana kepabeanan. Dengan demikian, jika penyidik PNS Bea Cukai yang menangani kasus impor—yang merupakan bagian dari transaksi mencurigakan Rp 349 triliun— menemukan adanya tindak pidana suap atau gratifikasi, mereka tak berwenang menanganinya. Padahal, justru suap dan gratifikasi itu yang memungkinkan diberikannya kemudahan secara ilegal oleh oknum yang bertugas saat itu.
Untuk itu, tanpa diminta, penyidik PNS Bea Cukai itu haruslah segera menyerahkan penanganan temuan suap atau gratifikasi dimaksud kepada kejaksaan atau kepolisian, dan jika itu melibatkan penyelenggara negara, harus diserahkan kepada KPK.
Begitu juga dengan inspektorat jenderal, yang jika dalam pemeriksaan yang dilakukan menemukan suap atau gratifikasi, mereka harus melakukan hal yang sama. Selain itu, yang tak kalah penting adalah dilakukan penelusuran harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi, ke mana saja mengalirnya, agar bisa disita dan diamankan dalam rangka memastikan selamatnya uang negara.
Penelusuran harta kekayaan yang berasal dari korupsi ini hendaknya dilakukan PPATK tanpa menunggu permintaan dari penegak hukum. Agar penyelamatan keuangan negara dan perekonomian negara berhasil dengan efektif, untuk kasus-kasus tertentu, penuntut umum dan hakim tidak perlu ragu menerapkan pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof/omkaping van het blast).
Selanjutnya, Ditjen Pajak juga harus berperan aktif untuk menomorsatukan kewajiban pembayaran pajak atas kekayaan yang dimiliki pelaku korupsi, tentunya dengan bekerja sama atau melalui koordinasi dengan penyidik. Kolaborasi dan sinergi ini juga harus dilakukan oleh majelis hakim dengan memberikan amar putusan terhadap harta kekayaan yang telah disita, tetapi tak cukup bukti untuk dirampas. Amar putusannya haruslah berbunyi ”dikembalikan kepada terdakwa setelah dibayar kewajiban pajaknya”.
Kolaborasi dan sinergi ini akan membuat pelaku korupsi tak berkutik, sekaligus akan menjadi cara efektif untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah dikorupsi pelaku. Sebagai institusi yang menjadi pemilik/pengendali perkara (dominis litis), rasanya tepat dan tak berlebihan jika kejaksaan menjadi pelopor untuk mewujudkan kolaborasi ini.
Selamat Hari Bhakti Adhyaksa Ke-63. Semoga kinerja Kejaksaan RI semakin hebat dan semakin mampu menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara dari praktik koruptif.
Muhammad Yusuf Kepala PPATK 2011-2016, Pensiunan Jaksa