logo Kompas.id
OpiniIlusi Politik Afirmasi
Iklan

Ilusi Politik Afirmasi

KPU seharusnya memahami kuota caleg merupakan jalur cepat mengatasi ketertinggalan perempuan dalam politik.

Oleh
KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI
· 4 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Dewasa ini politik afirmasi menjelma seperti ilusi. Apalagi di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden dan wakil presiden yang semakin menjauhkan diskusi tentang pentingnya politik afirmasi. Perempuan yang bertarung di gelanggang pemilu legislatif seolah terpinggirkan.

Sering muncul pertanyaan: mengapa perempuan perlu hadir di politik? Apakah perempuan sudah memiliki kapasitas yang mumpuni untuk masuk ke politik elektoral?

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Bahkan tak jarang pula parpol mengeluhkan sulitnya mencari perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Pertanyaan dan pernyataan seperti ini kerap menjadi alasan untuk tidak memperkuat regulasi kebijakan afirmasi.

Kebijakan afirmasi yang diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa ”Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%”.

Pasal ini harus dimaknai bahwa parpol wajib mencalonkan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). Ketika tidak memenuhi ketentuan ini, parpol tidak dapat mengajukan calon anggota legislatif di dapil tersebut. Praktik ini sesungguhnya telah menjadi acuan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

Sering muncul pertanyaan: mengapa perempuan perlu hadir di politik?

Kemunduran oleh KPU

Jaminan politik afirmasi yang dijamin UU ini mengalami penyimpangan, dengan terbitnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10/2023, khususnya Pasal 8 Ayat 2 huruf (a).

Pasal ini memuat ketentuan yang memberi parpol peluang untuk tak mencalonkan 30 persen perempuan di dapil jika hasil penghitungan 30 persen tersebut menghasilkan angka pecahan di belakang koma yang bernilai kurang dari 50.

Pasal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu yang mewajibkan keterwakilan perempuan ”paling sedikit 30 persen” perempuan di setiap daerah pemilihan.

PKPU ini akhirnya memantik perlawanan dari masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan kemudian mendatangi dan mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar memberikan rekomendasi kepada KPU untuk merevisi PKPU tersebut.

Tak berhenti di situ, koalisi akhirnya menempuh jalur hukum melalui uji materi ke Mahkamah Agung (MA). MA dalam Putusan Nomor 24 P/HUM/ 2023 memutuskan bahwa Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10/ 2023 bertentangan dengan UU Pemilu. Sebagai konsekuensinya, KPU seharusnya segera mengubah PKPU ini.

https://cdn-assetd.kompas.id/a8vEL8nyShxoivIxLU6S0e41CGc=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F13%2F05b1d331-9a66-427f-81b8-98bd50e50b04_jpg.jpg

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan Komisi Pemilihan Umum ke Badan Pengawas Pemilu atas dugaan pelanggaran administratif pemilu, Senin (13/11/2023).

Iklan

Namun, setelah keluarnya putusan MA tersebut, KPU tak kunjung melakukan revisi. KPU hanya sebatas mengeluarkan surat edaran kepada partai politik yang pada intinya menyampaikan bahwa terdapat putusan MA terkait PKPU Nomor 10 Tahun 2023 yang berdampak pada pencalonan dan meminta partai politik menyesuaikan daftar calonnya berdasarkan putusan MA tersebut.

Sikap KPU ini sudah jelas tidak sesuai dengan amar putusan MA. Terkait hal ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam Putusan Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 bahkan telah memberikan sanksi berupa peringatan keras kepada ketua KPU dan sanksi peringatan kepada anggota KPU lainnya.

Ilusi

Pada 4 November lalu, KPU telah memublikasikan daftar calon tetap (DCT). Penelusuran data yang sudah dilakukan oleh Netgrit terhadap DCT DPR RI menunjukkan hanya ada satu parpol yang memenuhi ketentuan pencalonan 30 persen perempuan di setiap dapil yang sesuai dengan putusan MA. Sebaliknya, ada 17 parpol lain yang gagal memenuhi ketentuan 30 persen pencalonan perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan KPU yang tidak merevisi PKPU Nomor 10/2023 berdampak pada upaya parpol dalam mengusulkan calon anggota legislatif. Secara faktual bisa dikatakan tak ada regulasi yang mengikat partai untuk berupaya mencalonkan paling sedikit 30 persen perempuan dalam daftar calon di setiap dapil.

KPU seharusnya memahami bahwa kuota yang diterapkan dalam pencalonan anggota legislatif ini merupakan jalur cepat (fast track) untuk mengatasi ketertinggalan bagi perempuan dalam politik.

Terdapat dua cara untuk mengatasi ketertinggalan kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam politik, yaitu melalui jalur tambahan (incremental track) dan jalur cepat (fast track) (Dahlerup dan Freindenvall, 2005).

Jalur cepat digunakan karena peningkatan kesetaraan perempuan dalam politik tidak dapat menunggu lama.

Jalur cepat digunakan karena peningkatan kesetaraan perempuan dalam politik tidak dapat menunggu lama. Hal ini disebabkan keterwakilan perempuan tidak dapat meningkat dengan sendirinya karena masih adanya hambatan struktural yang dialami perempuan.

Persoalan ini tidak dapat dianggap sebagai hal yang normal. Isu perempuan dalam politik sesungguhnya bukanlah isu pinggiran sebab kehadiran perempuan sangat signifikan dalam proses demokrasi. Kehadiran perempuan dalam politik tentu dapat menjadi faktor untuk menghadirkan transformasi politik dan pada akhirnya mengupayakan kebijakan yang lebih adil dan ramah jender.

Upaya untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen yang dilakukan sejak Pemilu 2004 juga bukan tanpa hasil.

Walaupun dari aspek keterpilihan hingga saat ini belum mencapai angka kritis 30 persen, adanya ketentuan ini telah berhasil ”memaksa” parpol untuk selalu mengupayakan pencalonan perempuan dalam setiap pemilu.

Penyelenggara pemilu tentu memiliki kewajiban hukum untuk memastikan bahwa politik afirmasi ini dijalankan. Upaya masyarakat sipil untuk terus menyuarakan hal ini juga tak bisa diabaikan. Ini adalah bagian dari langkah nyata merawat demokrasi.

Sebab, sekali saja ada upaya untuk memundurkan gerakan politik afirmasi, hal-hal baik yang telah dicapai selama ini akan hilang dan harus dimulai dari awal lagi.

Baca juga : KPU Dianggap Tak Lindungi Hak Perempuan

Khoirunnisa Nur Agustyati
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR

Khoirunnisa Nur Agustyati

Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000