Keseimbangan Pelana Manufaktur Dunia
Situasi terombang-ambing antara resesi dan tak resesi disebabkan antara lain merosotnya nilai tukar terhadap dollar AS.
Keseimbangan titik pelana (saddle points) adalah konsep matematika yang digunakan oleh ilmu ekonomi untuk menggambarkan situasi di persimpangan jalan, yang dapat bergerak ke keseimbangan yang lebih rendah ataupun lebih tinggi. Rendah dalam konteks ini adalah resesi atau kontraksi. Sementara tinggi adalah tidak resesi atau ekspansi.
Kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang menahan suku bunga acuan membuat ekspektasi bahwa The Fed akan lebih lunak (dovish) berhadapan dengan sikap yang lebih ortodoks (hawkish) dengan menahannya pada tingkat sekarang sepanjang masih diperlukan (higher for longer) merupakan contoh dari titik pelana.
Dampak nyatanya adalah pada perekonomian beberapa negara yang baru-baru ini diberitakan memasuki resesi, seperti Jepang dan Jerman, yang secara teknis tidak resesi, tetapi mengalami stagnasi.
Ini membuat sejumlah pihak, baik di dalam maupun luar negeri AS, mengadopsi kebijakan wait and see. Dampak nyatanya adalah pada perekonomian beberapa negara yang baru-baru ini diberitakan memasuki resesi, seperti Jepang dan Jerman, yang secara teknis tidak resesi, tetapi mengalami stagnasi. Yang menarik, keduanya merupakan manufacturing powerhouse dunia.
Produk manufaktur merupakan big ticket items dalam pengeluaran konsumen sehingga sering kali dibiayai oleh pinjaman. Jika tingkat bunga naik, biaya meminjam akan naik sehingga secara relatif barang manufaktur menjadi lebih mahal dari komponen pengeluaran yang lain.
Terombang-ambing
Namun, yang menarik, jalur transmisi kebijakan The Fed ke sektor manufaktur dunia adalah melalui nilai tukar. Tingginya harga bahan baku dan penolong menjadi semakin melambung dengan merosotnya nilai mata uang negara-negara di dunia relatif terhadap dollar AS. Permintaan dunia untuk produk manufaktur pascapandemi juga belum sepenuhnya pulih.
Jepang diberitakan memasuki resesi karena terjadi kontraksi produk domestik bruto (PDB) dua bulan berturut-turut. Perekonomian berada pada titik pelana antara resesi dan tidak. Pertumbuhan triwulan IV-2023 tercatat 3,2 persen. Namun, jika dilihat datanya secara pertumbuhan triwulanan (q to q) versus tahunan (y to y) ada yang sangat menarik.
Jalur transmisi kebijakan The Fed ke sektor manufaktur dunia adalah melalui nilai tukar.
Pertumbuhan triwulanan Jepang tercatat negatif di triwulan III dan IV pada 2023, masing-masing minus 0,8 dan minus 0,1 persen. Sebaliknya, pertumbuhan tahunan pada periode yang sama masih tercatat positif, masing-masing 1,7 dan 1 persen. Secara tahunan, pertumbuhan Jepang tidak pernah negatif, yang terjadi adalah perlambatan dari 1,7 persen di triwulan III-2023 ke 1 persen di triwulan IV-2023.
Situasi terombang-ambing antara resesi dan tidak di atas disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, merosotnya nilai yen versus dollar AS sebagai akibat kebijakan The Fed yang sempat menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi dalam negeri AS. Sampai sekarang, The Fed masih mempertahankan suku buku acuan yang tinggi itu.
Merosot
Nilai tukar yen merosot dari sekitar 130 per dollar AS pada akhir Maret 2023 ke kisaran 150 dollar AS pada awal Maret 2024. Akibatnya, nilai impor bahan mentah dan bahan baku menjadi lebih tinggi yang kemudian menjelma menjadi inflasi.
Rerata inflasi Jepang selama 10 tahun terakhir adalah 0,8 persen. Pelemahan yen serta krisis pangan dan energi membuat inflasi naik ke 2,5 persen, termasuk paling rendah di antara negara-negara industri.
Faktor populasi penduduk yang menua dan jumlahnya yang menyusut juga faktor lain di balik stagnasi konsumsi masyarakat.
Sampai Januari 2024, inflasi sudah turun ke 2,2 persen. Namun, karena harga-harga seperti rumah dan barang tahan lama tetap tinggi, membuat masyarakat lebih tertarik untuk menyimpan uangnya dan hanya fokus pada yang pokok saja. Ini terutama merujuk pada sandang-pangan serta jasa dasar, seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan.
Tingkat bunga negatif yang terjadi di Jepang selama ini tidak juga dapat mengubah hal itu. Faktor populasi penduduk yang menua dan jumlahnya yang menyusut juga faktor lain di balik stagnasi konsumsi masyarakat.
Ekspor lesu
Pasar ekspor yang selama ini menjadi andalan juga menurun karena kondisi pelemahan pertumbuhan global. Ekspor Jepang pada Januari 2024 menurun ke 7,33 triliun yen dari 9,64 triliun yen pada Desember 2023.
Kelesuan pasar ekspor dampaknya terlihat pada Purchasing Manager Index (PMI) sektor manufaktur yang sejak Juni 2023 selalu dalam zona kontraksi alias di bawah 50. Bahkan, PMI pada Februari 2024 tercatat hanya 47,2, turun dari 48 di bulan sebelumnya.
Kelesuan pasar ekspor dampaknya terlihat pada Purchasing Manager Index (PMI) sektor manufaktur yang sejak Juni 2023 selalu dalam zona kontraksi alias di bawah 50.
Beruntung ada kompensasi parsial dari sektor jasa yang indeks PMI-nya untuk dua bulan pertama pada 2024 hampir selalu ekspansif atau di atas 50. Ini terbantu oleh kunjungan wisatawan mancanegara ke Jepang yang memanfaatkan depresiasi yen. Namun, Pemerintah Jepang tampaknya juga akan mencegah terjadi overtourism, seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa.
Jerman mencatat pertumbuhan negatif, minus 0,3 pada triwulan IV-2023 setelah dua triwulan sebelumnya mencatat pertumbuhan nol. Per definisi, Jerman secara teknis memang belum resesi. Namun, situasinya tidak terlalu jauh berbeda dengan Jepang.
Kontraksi PMI
Kelemahan tersebut tecermin pada indeks manufaktur PMI-nya. Sepanjang 2023, indeks tersebut secara konsisten berada di zona kontraksi, tidak pernah melebihi 46. Ini berdampak pada indeks PMI manufaktur zona Euro yang sepanjang 2023 selalu di zona kontraksi, di bawah 48.
PMI manufaktur global di Januari 2024 bertahan pada angka netral atau titik pelana 50. Selanjutnya, di Februari, performanya memasuki zona ekspansi, yakni 50,3. Ada dua faktor penyebab, PMI China bertahan pada 50,9 di Februari 2024, naik tipis dari 50,8 di Januari. Namun, kontribusi terbesar adalah dari AS dengan PMI manufaktur di Februari sebesar 52,2, naik dari 50,7 di Januari.
Situasi keseimbangan pelana manufaktur dunia tecermin dalam perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia. Ekspor tercatat 20,52 miliar dollar AS, turun 8,34 persen secara bulanan dan turun 8,06 persen secara tahunan. Penyebabnya, turunnya permintaan untuk barang mentah, barang setengah jadi, dan produk manufaktur yang diperlukan oleh jaringan PMI manufaktur global.
Walau surplus neraca dagang sudah terjadi 45 bulan berturut-turut, kontribusi dari arus modal portepel masuk akan tetap penting untuk menjaga nilai tukar rupiah.
Impor secara bulanan turun 3,31 persen juga memberikan sinyal situasi rantai pasokan global yang bergerak seperti pendulum di zona netral antara kontraksi dan ekspansi. Akibatnya, walau secara keseluruhan masih surplus 2,02 miliar dollar AS, neraca dagang turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 3,29 miliar dollar AS.
Implikasinya, walau surplus neraca dagang sudah terjadi 45 bulan berturut-turut, kontribusi dari arus modal portepel masuk akan tetap penting untuk menjaga nilai tukar rupiah.