Depresi pada Mahasiswa
Meskipun tak semua orang yang mengalami depresi akan memiliki ide bunuh diri, prevalensi ide bunuh diri cukup tinggi.
Kementerian Kesehatan baru saja mengungkapkan hasil skrining gejala depresi pada mahasiswa program pendidikan dokter spesialis atau PPDS. Data berdasarkan Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) menunjukkan sekitar 22,4 persen mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi dan sekitar 3,3 persen memiliki ide bunuh diri/melukai diri sendiri (Kompas, 16/4/2024).
Terkait data ini, Menteri Kesehatan meminta segera dilakukan penanganan dan dicari penyebabnya.
Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat, apakah kondisi tersebut sudah cukup mengkhawatirkan? Apa saja penyebabnya? Bagaimana solusi atau antisipasinya?
Data epidemiologi
Prevalensi (angka kejadian) depresi di Indonesia cukup tinggi. Beberapa data epidemiologi menunjukkan prevalensi yang berbeda-beda, bergantung pada metode deteksi yang digunakan dan karakteristik populasi yang diperiksa.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menggunakan Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) menunjukkan prevalensi depresi pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia sekitar 6,1 persen. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka prevalensi kejadian depresi secara global pada populasi dewasa di seluruh dunia sekitar 5 persen.
Baca juga: Depresi, 3,3 Persen Calon Dokter Spesialis Ingin Akhiri Hidup atau Lukai Diri
Beberapa penelitian lain menggunakan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D 10) pada populasi yang serupa oleh Peltzer, K & Pengpid, S (2018) dan Tri Damayanti dkk (2022) menunjukkan angka prevalensi berkisar 21,8-23,14 persen.
Prevalensi depresi pada mahasiswa di Indonesia juga cukup tinggi. Penelitian pada mahasiswa berbagai fakultas di beberapa perguruan tinggi (PT) yang cukup ternama menggunakan Beck Depression Inventory (BDI) menunjukkan prevalensi depresi berkisar 41,5-54,7 persen (Uswatun Hasanah, 2020; Arif Tri Setyanto, dkk, 2023). Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Peltzer, K & Pengpid, S (2015) pada mahasiswa beberapa PT di Afrika, Asia, Karibia, dan Amerika Latin (sekitar 36,8 persen).
Bagaimana dengan prevalensi depresi pada mahasiswa fakultas kedokteran (FK) di Indonesia, khususnya mahasiswa PPDS? Penelitian pada mahasiswa S-1 FK (preklinik) di beberapa PT menggunakan BDI menunjukkan prevalensi berkisar 35,63-51,4 persen (Ade Tsarina Indira, dkk, 2020; Nilna Nur Faizah, dkk, 2021; Verren Isella, dkk, 2022).
Kajian literatur meta-analisis oleh Douglas A Mata, dkk (2015) dari berbagai penelitian epidemiologi di seluruh dunia menunjukkan prevalensi depresi atau gejala depresi pada mahasiswa PPDS berkisar 20,9-43,2 persen. Sementara hasil skrining yang baru saja diungkapkan oleh Kemenkes RI menunjukkan prevalensi depresi pada mahasiswa PPDS sekitar 22,4 persen.
Bagaimana dengan prevalensi ide bunuh diri di Indonesia? Beberapa penelitian oleh Nova Riyanti Yusuf (2019) dan Global School-Based Health Survey (GSHS) (2015) pada populasi pelajar menunjukkan prevalensi ide bunuh diri 5-5,2 persen. Penelitian pada mahasiswa berbagai fakultas di beberapa PT, prevalensi berkisar 19,3-63,5 persen (Vania Diva & Airin, 2023; Taufik Ashal, dkk, 2022; Amalia Khurotul, 2012; Ria Utami Panjaitan, dkk, 2023).
Hasil skrining Kemenkes RI pada mahasiswa PPDS menunjukkan prevalensi sekitar 3,3 persen.
Depresi dan ide bunuh diri
Depresi merupakan suatu gangguan mood atau afektif ketika individu mengalami penurunan suasana hati yang signifikan dan hilangnya minat atau kesenangan di hampir semua aktivitas.
Kondisi ini juga disertai dengan berbagai gejala psikologis, fisik, dan kognitif yang memengaruhi fungsi sosial atau pekerjaan individu.
Beberapa gejala depresi yang sering terjadi adalah perasaan sedih atau mood depresi yang terjadi pada sebagian besar hari (hampir setiap hari), kehilangan minat atau kesenangan dalam semua atau hampir semua aktivitas, perubahan berat badan atau nafsu makan, insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari, agitasi atau retardasi psikomotor yang terlihat oleh orang lain.
Keluarga dapat memberikan dukungan emosional yang kuat dan mendorong komunikasi terbuka tentang perasaan dan kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa.
Selain itu, juga kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari, perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat, kesulitan berkonsentrasi atau berpikir, dan/atau keputusan yang tidak pasti, serta pikiran tentang kematian atau bunuh diri atau adanya percobaan bunuh diri.
Diagnosis depresi biasanya memerlukan keberadaan beberapa dari gejala ini dalam durasi minimal dua minggu dan disertai perubahan fungsi sebelumnya.
Depresi memiliki kaitan yang cukup kuat dengan ide bunuh diri. Orang yang menderita depresi sering kali mengalami perasaan putus asa dan tak berdaya. Ini dapat memicu pemikiran tentang bunuh diri sebagai cara untuk mengakhiri penderitaan. Depresi juga dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi stres. Kondisi ini menyebabkan mereka merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengambil tindakan tersebut.
Meskipun tak semua orang yang mengalami depresi akan memiliki ide bunuh diri, prevalensi ide bunuh diri cukup tinggi pada penderita depresi. Studi menunjukkan bahwa sebagian besar individu yang mencoba atau meninggal karena bunuh diri memiliki riwayat depresi. Sebanyak 2-15 persen penderita depresi memiliki ide bunuh diri.
Faktor penyebab
Secara umum terdapat faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi tingginya kejadian depresi pada masyarakat, khususnya mahasiswa.
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi depresi lebih tinggi pada populasi berusia lebih muda, jenis kelamin perempuan, tingkat ekonomi lebih rendah, pengangguran, mendapatkan stresor lebih tinggi. Juga status kesehatan kurang, kurang kepercayaan sosial dan religiusitas, perokok, sering konsumsi minuman ringan, mengalami kejadian perpisahan/perceraian, aktivitas fisik dan mental yang lebih berat, memiliki penyakit kronis (hipertensi dan kanker).
Khusus kejadian depresi pada mahasiswa, beberapa faktor utama yang sering memengaruhi antara lain: (1) tekanan akademik (persaingan dengan sejawat, beban pendidikan, kekhawatiran masa depan karier); (2) transisi kehidupan (tantangan adaptasi lingkungan baru); (3) masalah keuangan; (4) kesehatan mental dan fisik (kondisi kesehatan mental dan fisik sebelumnya).
Selain itu, (5) riwayat penggunaan alkohol dan obat psikotropika; (6) tekanan sosial dan ekspektasi (target pencapaian akademik); serta (7) akses terhadap sumber daya kesehatan mental (kurangnya akses ke layanan kesehatan mental, stigma masalah kesehatan mental).
Upaya antisipasi
Tingginya angka prevalensi depresi pada mahasiswa PPDS yang diungkapkan Kemenkes RI ternyata terjadi juga pada populasi mahasiswa di fakultas-fakultas lain di berbagai PT di Indonesia dan juga di populasi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang komprehensif secara luas di berbagai populasi, tidak hanya inklusif pada mahasiswa PPDS saja.
Institusi pendidikan perlu menyediakan layanan konseling di kampus yang dilengkapi dengan konselor dan psikolog yang terlatih untuk membantu mahasiswa yang mengalami stres atau depresi.
Pemerintah perlu membuat kebijakan kesehatan mental dengan menerapkan dan mempromosikan kebijakan yang mendukung kesehatan mental, termasuk memastikan aksesibilitas dan ketersediaan layanan kesehatan mental di PT. Selain itu, menyediakan dana dan sumber daya untuk program kesehatan mental di kampus dan pelatihan kepada profesional kesehatan mental.
Pemerintah perlu rutin melakukan kampanye kesadaran untuk mengurangi stigma seputar depresi dan kesehatan mental serta meningkatkan kesadaran soal pentingnya kesehatan mental.
Institusi pendidikan perlu menyediakan layanan konseling di kampus yang dilengkapi dengan konselor dan psikolog yang terlatih untuk membantu mahasiswa yang mengalami stres atau depresi. Selain itu, juga membuat program peer support supaya mahasiswa dapat saling mendukung dalam menghadapi tekanan akademik dan pribadi. Institusi pendidikan perlu rutin mengadakan semacam workshop dan seminar tentang teknik pengelolaan stres, keseimbangan kehidupan, dan kesehatan mental.
Institusi kesehatan perlu melakukan integrasi layanan kesehatan mental ke dalam layanan kesehatan primer sehingga memudahkan akses bagi mahasiswa yang membutuhkan bantuan. Selain itu, rutin memberikan pelatihan kepada dokter umum dan staf medis tentang cara mengidentifikasi dan merespons gejala depresi pada mahasiswa. Mereka juga perlu bekerja sama dengan PT untuk mengadakan skrining dan intervensi dini bagi mahasiswa yang berisiko.
Masyarakat juga dapat membantu dengan mengurangi stigma seputar depresi dengan cara berbicara terbuka tentang kesehatan mental dan mendukung inisiatif-inisiatif yang terkait. Masyarakat dapat membuat program atau grup dukungan komunitas untuk membantu mahasiswa yang merasa terisolasi atau kesulitan sosial. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional yang kuat dan mendorong komunikasi terbuka tentang perasaan dan kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa.
Selain itu, keluarga harus memerhatikan tanda-tanda perubahan perilaku atau emosional pada anak mereka dan mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional jika diperlukan.
Mahasiswa harus belajar teknik manajemen stres, seperti mindfulness dan meditasi, meningkatkan religiusitas melalui pendidikan agama dan tertib melaksanakan ibadah, menjaga pola makan, tidur, serta olahraga yang sehat. Mahasiswa harus mencari bantuan secara aktif ketika merasa tak mampu mengatasi sendiri dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di PT.
Gea Pandhita S,Dokter Spesialis Neurologi; Kepala Laboratorium Neurosains dan Clinical Epidemiologist Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka