logo Kompas.id
Politik & HukumPengabaian Substansi Bisa Picu...
Iklan

Pengabaian Substansi Bisa Picu Kecurangan

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Mahkamah Konstitusi yang berpegang teguh pada selisih ambang batas perolehan suara dalam menangani sengketa perselisihan hasil pemilihan berpotensi memicu kecurangan yang masif pada pilkada serentak gelombang berikutnya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi didorong tetap memperhatikan substansi sengketa. Kebijakan untuk memperhitungkan substansi sengketa itu juga dinilai tidak akan membuat Mahkamah Konstitusi (MK) melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu mengatur peserta pilkada bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara ke MK jika memenuhi ambang batas selisih suara paling banyak 0,5-2 persen dari total suara sah yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi atau kabupaten dan kota. Persentase itu ditetapkan sesuai dengan jumlah penduduk di daerah itu. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, di Jakarta, Minggu (5/2), menuturkan, MK hanya perlu mengubah Peraturan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan. MK cukup menambahkan ketentuan bahwa ambang batas itu berlaku sepanjang pihak yang mengajukan permohonan tidak dapat membuktikan gugatan yang dilengkapi dengan alat bukti. Untuk itu, pemeriksaan pendahuluan juga tidak boleh hanya sekadar memeriksa selisih suara dan mendengar pembacaan permohonan. Pemeriksaan pendahuluan sudah harus mempertanyakan alat bukti yang diikuti dengan pemeriksaan lanjutan untuk memeriksa alat bukti dan mendengar keterangan para pihak. Jika hal itu tak dilakukan, kondisi ini dikhawatirkan memancing pasangan calon pada pilkada serentak gelombang berikutnya untuk "curang" tersistematis. "Jika untuk masuk perkara ke MK harus memenuhi ambang batas suara tertentu, pasangan calon akan berpikir agar hasil tidak digugat mereka perlu berupaya curang sedemikian supaya. Tidak tanggung-tanggung agar syarat selisih itu tidak bisa terpenuhi (lawan)," kata Feri. Dari penghitungan sementara KPU, hanya ada tujuh daerah yang memenuhi syarat ambang batas selisih suara untuk mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke MK. Sementara itu, hingga Kamis (2/5), sudah ada 49 pengajuan sengketa PHP yang diterima MK. Kategori pelanggaran Hasil kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan, dari 49 permohonan sengketa yang diterima MK, ada 12 daerah yang masuk kategori pelanggaran tinggi dan 19 masuk kategori pelanggaran sedang. Kajian ini menggunakan tujuh indikator kuantitatif dan kualitatif, di antaranya politik uang, logistik pilkada, penggunaan fasilitas daerah dan mobilisasi aparatur sipil negara, praktik intimidasi, serta proses pencalonan. Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz menambahkan, dengan melihat hasil kajian itu, tidak tepat jika MK hanya berpatokan pada selisih perolehan suara. Apalagi, pilkada tidak hanya soal hasil, tetapi juga ada banyak proses yang bisa dilihat, apakah berjalan adil atau tidak. Terkait dengan nilai penting MK memeriksa substansi, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menuturkan, sengketa PHP pada pilkada serentak 2015 bisa menjadi bahan refleksi. Saat itu, ada permohonan perselisihan hasil yang menurut dia disiapkan dengan baik dan dilengkapi dengan bukti-bukti, tetapi tetap dihentikan MK. MK sudah mengisyaratkan untuk tetap berpegang pada Pasal 158 Undang-Undang Pilkada. Ketua MK Arief Hidayat saat memberikan keterangan pers kepada wartawan dalam rangka persiapan penanganan sengketa PHP menyampaikan, MK akan menjaga konsistensi putusan PHP pilkada serentak 2017 dengan penanganan PHP pada pilkada serentak 2015 (Kompas, 28/2). Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia menuturkan, MK harus memahami bahwa selisih suara yang jauh dari ambang batas bisa diperoleh dengan cara tidak sah, baik dengan kekerasan, intimidasi, maupun politik uang. Asumsi MK bahwa pada tahapan sebelum penetapan hasil penghitungan suara sudah ditangani oleh instansi lain dinilai Ray tidak tepat. Sebab, penanganan pelanggaran politik uang ataupun mobilisasi aparatur sipil negara hanya menghukum individu yang terlibat dan tidak sampai "menghukum" proses. (GAL)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000