logo Kompas.id
Politik & HukumPutusan Tak Mengejutkan
Iklan

Putusan Tak Mengejutkan

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa pilkada, Senin (3/4), tak memberi kejutan. MK kembali menegaskan syarat formal pengajuan permohonan dan selisih ambang batas suara menjadi pertimbangan utama MK meneruskan/menghentikan perkara. Dari pembacaan putusan hari pertama terhadap 22 dari 50 permohonan sengketa pilkada, MK memutuskan menghentikan sidang (dismissal) untuk 20 permohonan dengan alasan tidak memenuhi syarat formal. Tiga permohonan dihentikan karena melampaui batas waktu pengajuan permohonan, yakni tiga hari kerja seperti diatur dalam Pasal 157 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sebanyak 14 permohonan dihentikan karena tidak memenuhi syarat ambang batas selisih perolehan suara maksimal 0,5-2 persen dari suara sah seperti diatur Pasal 158 UU No 10/ 2016 tentang Pilkada. Dua daerah lagi dihentikan karena pengaju tidak memiliki kedudukan hukum, bukan diajukan pasangan calon, yakni di Aceh Barat Daya (Aceh) dan Kota Sorong (Papua Barat). Pilkada Kota Sorong diikuti pasangan calon tunggal. Sengketa dapat diajukan ke MK oleh pemantau yang terdaftar resmi di KPU setempat. Namun, pengaju sengketa Pilkada Kota Sorong tidak terdaftar. Selain itu, MK juga mengeluarkan putusan sela berupa perintah kepada KPU Papua untuk menggelar pemungutan suara ulang di 18 distrik di Kabupaten Tolikara. Sementara untuk Intan Jaya, MK memerintahkan KPU Papua melanjutkan rekapitulasi suara di tujuh tempat pemungutan suara di dua distrik. Dalam pertimbangannya dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Tolikara dan Intan Jaya, MK tidak berarti mengesampingkan Pasal 158 UU No 10/2016. Menurut MK, Pasal 158 UU No 10/2016 belum bisa diterapkan untuk kasus Tolikara karena rekapitulasi belum final. Sementara pada kasus Intan Jaya, MK berpendapat, belum tuntasnya rekapitulasi belum memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, rekapitulasi perlu dilanjutkan sehingga KPU setempat dapat menerbitkan penetapan hasil rekapitulasi. Keputusan KPU itu dapat disengketakan ke MK jika ada pihak yang dirugikan. Preseden burukTerkait alasan MK tetap berpegang pada Pasal 158 UU No 10/2016, hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membacakan pertimbangan putusan dismissal sengketa Pilkada Kabupaten Pidie (Aceh) menyatakan, MK tidak sepakat dengan dalil menegakkan keadilan substantif dengan memaksa MK melanggar batasan kewenangan yang diberikan UU No 10/2016. "Sekali terbujuk melampaui batas itu, akan menjadi preseden buruk penegakan keadilan berkaitan perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota," katanya. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyayangkan putusan MK yang tidak mempertimbangkan pokok permohonan pemohon. Menurut dia, alasan MK tidak mau mengesampingkan Pasal 158 karena memberi preseden buruk tidak tepat. Dengan tidak mau mempertimbangkan pokok permohonan, MK justru memberi preseden buruk terhadap pelaksanaan pilkada. "MK tidak akan pernah bisa menjawab bagaimana jika selisih suara yang jauh berasal dari proses yang penuh dengan kecurangan karena MK tidak pernah mempertimbangkan pokok permohonan," kata Fadli. (GAL)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000