Penyidik KPK Bekerja Bersama POM TNI
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menduga ada penggelembungan harga dalam pengadaan helikopter AgustaWestland 101 atau AW 101 yang kini perkaranya ditangani KPK bersama Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia. Kepastian mengenai modus korupsi alat utama sistem persenjataan itu masih didalami penyidik KPK bersama penyidik POM TNI.Hingga Senin (29/5), penyidik KPK bersama penyidik POM TNI telah memeriksa 13 orang yang diduga mengetahui soal pembelian helikopter yang bernilai Rp 761,2 miliar per unit. Pemeriksaan para saksi dilakukan dalam rangka penyelidikan kasus korupsi pengadaan AW 101 yang diperkirakan merugikan negara Rp 220 miliar."Penyidik KPK bersama-sama dengan penyidik POM TNI memeriksa 13 orang dalam rangka penyelidikan kasus korupsi tersebut. Pemeriksaan dilakukan secara bersamaan antara tim KPK dan tim POM TNI terhadap para saksi sesuai dengan kesepakatan yang telah dilakukan antara KPK dan TNI dalam mengungkap kasus ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Senin.Menurut Febri, kerja sama yang baik antara penyidik KPK dan penyidik POM TNI menjadi awal dari pemeriksaan koneksitas antara dua institusi terkait satu kasus korupsi yang melibatkan tidak hanya warga sipil, tetapi juga prajurit TNI. "Untuk menuju pengadilan koneksitas itu dimungkinkan dilakukan, tetapi memerlukan proses yang panjang. Pemeriksaan bersama antara penyidik KPK dan POM TNI menjadi upaya awal untuk menuju ke sana dan kami menghargai sikap militer yang terbuka untuk bekerja sama mengungkap kasus korupsi pengadaan helikopter AW 101 ini," ujar Febri.Dari 13 orang yang diperiksa tim penyidik KPK dan POM TNI, tujuh orang adalah pihak swasta yang memenangi tender pembelian helikopter AW 101, yakni PT Diratama Jaya Mandiri dan enam orang dari militer. Penyidik KPK dan POM TNI juga telah menggeledah empat lokasi sejak Jumat pekan lalu. Lokasi yang digeledah ialah kantor PT Diratama Jaya Mandiri dan rumah pihak swasta atau pengusaha pengelola PT Diratama Jaya Mandiri yang berada di Bogor dan Sentul. DitolakSecara terpisah, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, sejak awal pengadaan helikopter AW 101 janggal. Pengadaan alutsista itu ditolak Presiden Joko Widodo karena harganya terlampau mahal."Dibandingkan dengan helikopter jenis lain yang kelasnya setara, yakni Super Puma 725, harga helikopter AW 101 jauh lebih mahal. Selisihnya sekitar Rp 200 miliar," kata Khairul. (rek)