Rakyat Bersama KPK
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi kembali datang. Kali ini, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama ikut menyatakan sikapnya. Di sisi lain, pemerintah justru mengulur waktu dengan menunggu proses angket terus bergulir hingga menghasilkan rekomendasi yang dikhawatirkan dapat berujung guncangan pada internal pemerintah sendiri.
Sekitar pukul 10.05, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj didampingi Ketua PBNU Robikin Emhas, Ketua Pengurus Pusat Muslimat NU Yenny Wahid, serta Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Rumadi Ahmad tiba di Gedung KPK. Mereka langsung ditemui pimpinan KPK untuk membahas sejumlah hal, termasuk sebagai bentuk dukungan terhadap KPK.
”Kami dari PBNU, ormas Islam, sebagai kekuatan civil society selalu berpihak dengan rakyat, berpihak dengan kebenaran. Maka, ketika ada indikasi upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK, bahkan targetnya sampai membubarkan KPK, PBNU merasa harus turun tangan,” ujar Said seusai bertemu dengan pimpinan KPK, Selasa (11/7).
Ketika ada indikasi upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK, bahkan targetnya sampai membubarkan KPK, PBNU merasa harus turun tangan.
Sejak 2013, PBNU sudah memiliki nota kesepahaman dengan KPK untuk bersama memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Sebab, kerja yang dilakukan KPK ini cukup berat dan sulit sehingga membutuhkan dukungan dari rakyat. ”Sehingga upaya pelemahan KPK ini adalah pengkhianatan suara masyarakat. Harusnya KPK ini diperkuat fungsi dan kewenangannya,” kata Yenny.
Dukungan dari PBNU ini bukan satu-satunya yang diterima KPK. Setelah berjalannya hak angket terhadap lembaga anti-rasuah yang dilakukan DPR, berbagai gerakan mendukung KPK perlahan bermunculan. Pada 14 Juni, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara menyatakan dukungannya.
Sehari setelahnya, rombongan seniman bernama Gerakan Indonesia Waras juga memberikan dukungan terhadap KPK dan menolak hak angket. Pada 19 Juni, ratusan guru besar di seluruh Indonesia serentak melakukan aksi dukung KPK dan sebagian membacakan petisi yang digagas bersama di Gedung KPK.
Beberapa pekan berselang, pada 5 Juli, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Angket KPK ikut menyatakan dukungannya. Dua hari kemudian, Ikatan Alumni UI dan Badan Eksekutif Mahasiswa UI bahkan menggelar aksi di depan Gedung DPR menyuarakan dukungan tersebut.
Mengenai sikap pemerintah saat ini, Fickar mengusulkan agar Presiden Joko Widodo menempuh langkah politis dengan menjalin pembicaraan dengan para petinggi partai politik. Sebab, Presiden Jokowi saat ini tidak memiliki kewenangan menghentikan hak angket karena masih berada di ranah legislatif. Sementara jika menunggu hak angket masuk dalam ranah eksekutif justru ditakutkan menjadi bola liar yang mengancam kelangsungan pemerintahan.
”Ini, kan, yang jadi masalah, hak angket datang dan disetujui partai pendukung Presiden. Mestinya Presiden bisa mencegah dengan menghubungi partai pendukungnya. Langkah politis dan informal saat ini akan jauh lebih efektif dan paling mungkin dilakukan. Sebab, jika dibiarkan hingga berujung pelemahan dan pembubaran KPK, akan menjadi catatan jelek rezim Jokowi,” kata Fickar.
Mestinya Presiden bisa mencegah dengan menghubungi partai pendukungnya
Mengenai rencana evaluasi keberadaan KPK yang akan dilakukan panitia khusus angket, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan pihaknya tidak akan terlalu terpengaruh dengan wacana seperti itu. ”Sebenarnya sudah sering berbagai upaya menyerang legitimasi hukum keberadaan KPK, misalnya ada banyak uji materi yang diajukan ke MK. Bahkan di antaranya mempersoalkan keabsahan keberadaan KPK dan kewenangan KPK. Namun, MK justru menegaskan posisi KPK dalam berbagai putusannya.
Selanjutnya, ada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan dilakukan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dua tahun setelah aturan ini berlaku. Kemudian, muncul juga UU No 30/2002 yang menjadi landasan dari KPK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Belum lagi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan KPK sebagai lembaga penting secara konstitusional. Begitu pula pada putusan MK Nomor 49/PUU-XI/2013. Inti dari putusan tersebut lebih kurang tidak jauh berbeda. Bahwa dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, keberadaan komisi negara semacam KPK merupakan hal yang lazim di sejumlah negara.
Tertuang juga dalam Pasal 6 Ayat 2 United Nations Convention Against Corruption. Bahwa diperlukan pembentukan lembaga yang khusus menangani pemberantasan korupsi dan bersifat independen dalam menjalankan tujuannya.