logo Kompas.id
Politik & HukumAngket Rugikan Citra...
Iklan

Angket Rugikan Citra Pemerintah

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Sikap partai anggota koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo untuk melanjutkan angket terhadap KPK akan membuat mereka dipersepsikan antipemberantasan korupsi. Persepsi ini akan merugikan mereka dan bahkan mungkin Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2019.Sebaliknya, persepsi ini akan menguntungkan partai-partai nonpemerintah. Hal ini bahkan bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan elektabilitas Jokowi dan partai pendukungnya. Keanggotaan Panitia Angket DPR terhadap KPK kini terdiri atas enam dari tujuh partai pendukung pemerintah di DPR. Keenamnya adalah PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PAN. PKB menjadi satu-satunya partai anggota koalisi pemerintah yang menolak masuk ke panitia angket. Adapun Partai Demokrat, PKS, dan Partai Gerindra yang selama ini berada di luar pemerintahan Jokowi-Kalla tidak memiliki anggota dalam panitia angket."Setiap agenda panitia mempertontonkan kepada publik bagaimana KPK berusaha dilemahkan. Maka, tidak heran jika muncul persepsi enam partai yang ada di panitia angket antipemberantasan korupsi. Jangan kaget jika hal ini dapat meruntuhkan kepercayaan publik kepada mereka pada Pemilu 2019," ujar Direktur Komite Pemantau Legislatif Syamsuddin Alimsyah di Jakarta, Jumat (28/7). Sikap Presiden Jokowi yang terkesan tidak tegas terhadap partai pendukungnya dalam kaitan hak angket, lanjut Syamsuddin, juga bisa menimbulkan persepsi bahwa Jokowi tidak propemberantasan korupsi dan ikut memberi angin untuk melemahkan KPK. "Sikap Jokowi berikut partai pendukungnya itu bisa dimanfaatkan partai-partai nonpemerintah," ujarnya. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, melihat panitia angket jadi dilema bagi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah ingin memberantas korupsi dan dalam hal ini mengandalkan KPK. Di sisi lain, pemerintah terkesan diam ketika KPK dipersoalkan lewat angket.Sikap diam pemerintah makin terasa saat Gerindra memutuskan mundur dari panitia angket karena menilai kerja panitia tersebut sudah bertujuan untuk melemahkan KPK.Jika tidak hati-hati, lanjut Siti, hal ini akan berpengaruh terhadap citra pemerintah, termasuk Jokowi, yang sejak awal menjabat berjanji ingin memberantas korupsi. "Khususnya mengingat 2019 tinggal dua tahun lagi. Politik pencitraan mulai dibutuhkan pada masa-masa sekarang ini," ujarnya. Agar tak kehilangan dukungan publik, Siti berharap Presiden segera menunjukkan keberpihakan yang lebih jelas terhadap pemberantasan korupsi. Koalisi partai pendukung pemerintah perlu diarahkan agar tidak melanjutkan angket.Tidak takutNamun, anggota panitia angket dari Fraksi PDI-P, Eddy Kusuma Wijaya, mengatakan, PDI-P bersama fraksi lain pendukung pemerintah tidak takut dipersepsikan antipemberantasan korupsi. Partai nonpemerintah pun dinilainya bebas menciptakan kesan bahwa koalisi pendukung pemerintah ingin melemahkan KPK."Mengapa harus takut? Nanti terlihat di hasil akhir penyelidikan panitia angket. Kami tidak berniat menghancurkan KPK. Kami berulang kali menyampaikan mau mendukung dan menguatkan KPK," ujarnya. Kalaupun satu per satu fraksi pendukung hak angket berbalik arah, lanjut Eddy, panitia angket akan tetap bekerja. Sebab, pengesahan pembentukan panitia sudah dicatatkan pada lembaran negara dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di DPR."Berapa pun yang hengkang nanti, meski tinggal dua fraksi pun, kami tetap jalan sampai batas waktu kerja kami," katanya. Kegiatan panitia selama masa reses (28 Juli-15 Agustus 2017) dan pascareses masih belum diputuskan. Rencana memanggil mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk mengklarifikasi pernyataannya bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo terlibat kasus korupsi proyek KTP elektronik belum ditentukan. Rencana panitia memverifikasi pernyataan sejumlah orang yang menyerang sejumlah mantan unsur pimpinan dan penyidik KPK yang pernah dihadirkan panitia juga belum diputuskan."Nanti lihat perkembangan. Jadwal berubah-ubah karena disesuaikan dengan kebutuhan yang ingin dicari panitia. Dulu kami menggebu-gebu ingin panggil Miryam (Miryam S Haryani, politisi Hanura dan tersangka memberi keterangan tidak benar dalam pengusutan kasus KTP elektronik), sekarang berubah. Lihat kepentingannya saja," kata Eddy. (AGE/APA/MDN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000