logo Kompas.id
Politik & HukumPerencana Pengadaan Heli...
Iklan

Perencana Pengadaan Heli AW-101 Diburu

Oleh
· 2 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Penetapan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 oleh Pusat Polisi Militer TNI, Jumat lalu, mulai memperjelas kerangka kasus yang sedang diungkap Pusat Polisi Militer TNI bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu merupakan bentuk kerja sama yang baik antara KPK dan TNI dalam pemberantasan korupsi. Jumlah tersangka dalam kasus ini diperkirakan masih akan bertambah mengingat inisiator atau perencana pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 belum menjadi tersangka."Kemungkinan tersangka baru sangat bergantung pada kecukupan bukti yang dimiliki. Dalam kasus yang ditangani KPK, kami fokus pada tersangka ISK (Irfan Kurnia Saleh). Kami mendalami terlebih dahulu proses pengadaan hingga selisih harga wajar karena diduga ada kerugian negara cukup besar di kasus ini," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Sabtu (5/8). Irfan merupakan pimpinan PT Diratama Jaya Mandiri yang diduga mengatur proses lelang sehingga dia menang tender. Irfan menggelembungkan nilai kontrak atau pembelian helikopter dari Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar sehingga ada selisih Rp 224 miliar.Sesuai ketentuan, KPK menangani tersangka dari pihak sipil. Adapun Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI melakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap terduga dari pihak militer.InsubordinasiKonstruksi kasus ini apabila merujuk Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Militer, yang dikenakan kepada Marsekal Muda SB adalah insubordinasi atau sikap tidak taat pada pimpinan. SB tetap memerintahkan bawahannya melanjutkan pengadaan helikopter sekalipun ada instruksi dari Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tertinggi TNI untuk menghentikannya.Pengamat militer dan intelijen dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, KPK dan Puspom TNI diharapkan tidak melokalisasi kasus ini hanya di jajaran pejabat TNI AU. "Tidak mungkin seorang tentara berani membantah atasannya atau bertindak di luar perintah atasan, kecuali mungkin ada kongkalikong atau jaminan tertentu dari pihak yang jauh lebih berkuasa. Artinya, TNI AU selaku pelaksana teknis dari suatu kebijakan tidak semudah itu juga memerintahkan pengadaan helikopter tanpa persetujuan pembuat kebijakan," kata Khairul.Siapa perencana dan pembuat kebijakan yang bertanggung jawab dalam mengusulkan pengadaan helikopter AW 101 itu perlu ditelisik lebih jauh. Apalagi, perencanaan pengadaan helikopter sedari awal sudah tidak jelas. Awalnya, helikopter AW 101 akan dijadikan helikopter kepresidenan, tetapi setelah ditolak Presiden dialihkan menjadi helikopter penyelamatan atau SAR."Siapa yang awalnya mengusulkan helikopter ini untuk Presiden, dan kemudian bagaimana prosesnya sehingga akhirnya dijadikan helikopter SAR. Kalaupun petinggi AU bertanggung jawab atas pengadaan ini, harus diusut hingga ke tahap perencanaan, dan pembuat kebijakan yang memungkinkan pengadaan helikopter itu dilakukan," kata Khairul. (rek)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000