JAKARTA, KOMPAS – Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Mahkamah Konstitusi dinilai masih perlu berbenah dalam banyak hal. Kualitas putusan MK dan kewenangannya yang cenderung sulit diawasi menjadi perhatian.
Hal itu disampaikan oleh SETARA Institute dalam konferensi pers terkait kinerja MK RI Tahun 2016-2017, yang dilaksanakan di Jakarta, Minggu (20/8). Konferensi pers tersebut juga dilakukan dalam rangka memperingati hari konstitusi nasional yang jatuh setiap tanggal 18 Agustus.
SETARA Institute mencatat, sepanjang periode 18 Agustus 2016 – 14 Agustus 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan 121 putusan yang menguji 258 pasal dalam 62 produk Undang-Undang, yang terdiri dari 26 putusan kabul, 38 putusan tolak, 41 putusan tidak dapat diterima, 5 putusan gugur, dan 1 putusan tarik kembali.
“Dari 62 UU yang diujikan ke MK RI pada periode ini, UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 10/2016 dan UU 8/2015) menjadi yang paling banyak diujikan dengan 17 kali permohonan pengujian. Sementara itu, batu uji yang paling banyak digunakan oleh pemohon dalam pengujian UU, ialah Pasal 28D (1) yang isinya menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang sama di hadapan hukum. Pasal itu digunakan sebagai batu uji sebanyak 76 kali,” tutur Inggrit Ifani, Peniliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute.
Dalam beberapa putusannya, MK dinilai memutuskan lebih dari yang diajukan oleh pemohon atau ultra petita, dan membuat norma baru dalam suatu putusan atau ultra vires. Kedua hal itu dianggap sebagai suatu penyimpangan yang dilakukan oleh MK.
“Praktik ultra petita dilakukan satu kali, yaitu pada Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, dimana pemohon meminta uji materi Pasal 251 (1), (2), (7), dan (8) tentang Pemerintahan Daerah, namun dalam amar putusannya, MK mengabulkan menyatakan Pasal 251 ayat (1), (4), (5), dan (7),” tutur Inggrit.
Sementara itu, dalam hal MK membuat norma baru dalam suatu putusan, SETARA Institute mencatat, MK menciptakan 15 norma baru di dalam putusannya, antara lain terkait putusan UU perkawinan (69/PUU-XIII/2015) dan putusan yang mengatur lama jabatan hakim ad-hoc (49/PUU-XIV/2016). “Ini tidak dibenarkan, karena yang berhak membuat norma baru ialah pembuat UU yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Presiden,” kata Inggrit.
MK menjadi lembaga yang terkesan tidak ingin diawasi oleh lembaga lain. MK beberapa kali membatalkan peraturan yang mengatur dirinya sendiri. Padahal, beberapa peraturan tersebut dinilai ditujukan untuk membatasi kewenangan MK agar kinerjanya menjadi lebih baik.
Adapun, persoalan lain yang perlu dibenahi ialah ihwal lembaga MK yang tidak memiliki lembaga pengawas eksternal. Ismail Hasani, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah menilai MK menjadi lembaga yang terkesan tidak ingin diawasi oleh lembaga lain. MK beberapa kali membatalkan peraturan yang mengatur dirinya sendiri. Padahal, beberapa peraturan tersebut dinilai ditujukan untuk membatasi kewenangan MK agar kinerjanya menjadi lebih baik.
Beberapa peraturan yang dimaksud, yaitu pembatalan pengawasan MK oleh Komisi Yudisial (KY) ketika membatalkan sejumlah ketentuan pengawasan di dalam UU KY (Putusan Nomor 005/PUU-IV/-2006), pembatalan keberadaan Majelis Kehormatan Hakim MK yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 (perubahan pertama UU MK), dan pembatalan UU No 4/2014 tentang Penetapan Perppu MK yang di dalamnya mengatur beberapa ketentuan seperti proses seleksi hakim dan sistem pengawasan hakim konstitusi.
“MK hanya membentuk lembaga pengawas internal yaitu Dewan Etik yang anggotanya terdiri dari hakim MK dan mantan hakim MK, dan membentuk lembaga ad-hoc, yaitu dewan kehormatan ketika terjadi suatu kasus,” ujar Ismail.
Sebelumnya, kinerja MK tercoreng ketika dua hakimnya terjerat kasus hukum terkait penyalahgunaan kekuasaan. Pada 2 Oktober 2013, Ketua MK saat itu, Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap penyelesaian sengketa Pilkada di beberapa daerah.
Selanjutnya, pada tanggal 25 Januari 2017, salah satu hakim MK saat itu, Patrialis Akbar juga ditangkap KPK terkait kasus suap dalam proses uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. (DD14)