JAKARTA, KOMPAS — Langkah sejumlah fraksi partai politik di parlemen mengusulkan revisi Undang-Undang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinilai tepat. Salah satu ketentuan yang penting untuk diubah adalah keterlibatan pengadilan dalam pembubaran organisasi kemasyarakatan.
Dalam Perppu No 2/2017 yang baru disahkan menjadi undang-undang diatur, pembubaran ormas menjadi wewenang pemerintah. Pengadilan hanya dilibatkan untuk menguji keberatan yang diajukan ormas atau pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan pemerintah.
Substansi prioritas yang harus direvisi adalah mengembalikan pengadilan dalam memutuskan sanksi.
Ketentuan itu jauh berbeda dengan aturan yang tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. UU mengatur pembubaran ormas harus melalui pengadilan. Tidak hanya itu wewenang untuk membubarkan sebuah ormas juga diberikan kepada pengadilan.
Banyak kalangan berpandangan, pemberian wewenang pembubaran ormas kepada pemerintah berpotensi diselewengkan. Pemerintah dikhawatirkan bertindak sewenang-wenang, menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membubarkan ormas tertentu tanpa landasan yang jelas.
Hal itu berarti peran pengadilan dikembalikan sebagai pihak yang berhak mencabut badan hukum ormas, sama dengan ketentuan yang diatur dalam UU No 17/2013.
Ukuran sebuah ormas sejalan atau tidak dengan Pancasila harus tetap diuji oleh pengadilan.
Ronald berpandangan, kehendak pemerintah untuk menjaga ideologi Pancasila tidak bisa dilakukan dengan memangkas atau meniadakan peran pengadilan. Semestinya ukuran sebuah ormas sejalan atau tidak dengan Pancasila serta mengganggu atau tidak mengganggu ketertiban umum harus tetap diuji oleh pengadilan.
Ketentuan itu juga tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Pembubaran sebuah yayasan juga menjadi kewenangan pengadilan. ”Jadi, mempertahankan UU Penetapan Perppu Ormas juga berarti membiarkan konflik norma dengan UU Yayasan,” kata Ronald.