MATARAM, KOMPAS — Selama ini, penegakan hukum pidana di Indonesia masih sangat berorientasi pada pelaku tanpa mempertimbangkan perlindungan korban ataupun pemulihan korban tindak pidana. Ulama Nahdlatul Ulama menilai, arah pembaruan hukum pidana yang memikirkan korban harus didorong sebagai salah satu sarana perbaikan hukum di masyarakat.
Para ulama yang menghadiri persidangan di Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah (pembahasan persoalan keagamaan terkini terkait perundang-undangan), yang merupakan bagian dari Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama, di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/11), membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dari pembahasan itu, ada sejumlah rekomendasi yang mengerucut dan akan dirumuskan lebih jauh sebelum dibawa ke sidang pleno Munas NU, 25 November.
”Ada rekomendasi soal peran keluarga korban dalam pemidanaan terhadap terdakwa. Dalam Islam, atas nama rasa keadilan masyarakat, si korban dimungkinkan untuk memberi maaf kepada terdakwa dan itu bisa meringankan hukuman karena menjadi pertimbangan hakim dalam membuat putusan,” tutur pemimpin Sidang Bahtsul Masail Qanuniyah, Zaini Rahman.
Menurut dia, alasan pengampunan itu tidak menghilangkan hukuman, tetapi hanya menjadi bahan pertimbangan dari hakim karena sudah ada proses mediasi kekeluargaan, baik dengan ganti rugi maupun tidak, serta terdakwa dilibatkan dalam proses pemulihan terhadap korban. ”Dalam Islam, hakim harus mempertimbangkan suara korban untuk memberi rasa keadilan,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, yang hadir di forum itu sebagai peninjau, mengatakan, pembahasan Rancangan KUHP sudah hampir selesai dilakukan di DPR. Saat ini sudah masuk tahapan perumusan. Politik hukum terkait dengan Rancangan KUHP sudah selesai. Oleh karena itu, dia menilai, aspirasi para ulama itu bisa dimasukkan dalam penjelasan untuk mempertajam pasal dalam KUHP.