JAKARTA, KOMPAS — Dukungan terhadap pemenuhan hak-hak saksi dan korban kejahatan hingga pelanggaran hak asasi manusia berat belum dapat terpenuhi dengan baik. Hal itu disebabkan masih kurangnya dukungan dari penyidik untuk menuntaskan perkara dan juga kurangnya dukungan dari kementerian untuk bantuan lanjutan bagi korban kejahatan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, Rabu (29/11), di Jakarta mengatakan, dukungan terutama dibutuhkan dari penegak hukum terkait penuntasan perkara dan keberpihakan terhadap saksi. Dalam sejumlah kasus, terutama korupsi, saksi kerap dilaporkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Penyidik kepolisian terkadang memproses lebih dahulu kasus pencemaran nama baik daripada dugaan korupsi yang dilaporkannya.
Padahal, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 telah menjamin perlindungan terhadap saksi. Disebutkan dalam surat edaran MA tersebut bahwa laporan yang disampaikan saksi wajib lebih dahulu diperiksa hingga tuntas, baru kemudian laporan terkait saksi dapat diproses hukum.
Semendawai mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Kendal, Jawa Tengah, yang menjatuhkan putusan sela yang isinya menunda pemeriksaan perkara pencemaran nama baik dengan terdakwa saksi pelapor korupsi. Penundaan berlangsung hingga kasus korupsinya selesai diadili.
Demikian pula terhadap pelanggaran HAM berat yang proses penyidikannya berhenti di Kejaksaan Agung. Menurut dia, hal itu menutup pemenuhan hak-hak korban. Sebab, dengan belum adanya proses peradilan terhadap pelaku pelanggaran HAM, hak korban untuk memperoleh kompensasi dari negara belum dapat dipenuhi.
"Oleh karena itu, perlu dicari cara dengan skema di luar pengadilan. Jika itu bisa dilakukan, itu menjadi terobosan pemerintah sekarang," ujarnya.
Lain halnya untuk pemberian bantuan layanan medis dan psikologis, LPSK telah memberikannya kepada 3.000 korban pelanggaran HAM berat yang berlangsung 2013-2017. Hal itu dimungkinkan karena semua perkara pelanggaran HAM berat telah melalui proses penyelidikan di Komisi Nasional HAM. Bantuan medis dan psikologis memang dapat diberikan selama perkara telah diselidiki, seperti diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Koordinator Nasional LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana menyampaikan, pemenuhan hak korban itu memang membutuhkan komunikasi lebih lanjut dengan institusi penegak hukum. Selama ini, jaksa masih menolak melaksanakan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur bahwa korban pelanggaran HAM berat dan terorisme memperoleh kompensasi dari negara, sementara korban pidana memperoleh ganti rugi.
"Memang jaksa masih berpikir bahwa mereka mewakili negara dan tidak semestinya menuntut negara. Ini perlu dibicarakan," ujarnya. (MDN)