JAKARTA, KOMPAS — Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta berkomitmen untuk terus menjaga toleransi di daerah itu. Perayaan Natal dan Tahun Baru juga diharapkan menjadi momen untuk mempererat kerukukunan antarumat beragama.
”Seperti kegiatan rutin di tahun-tahun sebelumnya, FKUB akan melakukan safari malam Natal mengunjungi sejumlah rumah ibadah. Kami juga memberikan apresiasi kepada umat yang ikut memelihara kerukunan sepanjang 2017 disertai harapan menjadi lebih baik pada 2018,” ujar Ketua FKUB DKI Jakarta Ahmad Syafii Mufid dalam konferensi pers refleksi akhir tahun di Jakarta, Kamis (21/12).
Mufid menilai, secara umum kehidupan umat beragama di Jakarta pada 2017 berjalan cukup baik. Sebab, toleransi, saling pengertian, dan saling menghormati masih menjadi landasan bersama untuk menciptakan kerukunan.
Namun, dia tidak menampik kerukunan umat sempat terusik karena persoalan politik, seperti pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Namun, menurut dia, hal itu tidak berkembang menjadi kasus intoleransi dan konflik sosial.
”Agama sering dibawa-bawa dalam politik. Ke depan, bagaimana caranya agama bisa memengaruhi politik. Dengan begitu, politisi di pemerintahan dan lembaga perwakilan dapat bekerja berdasarkan agama untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial,” ujarnya.
Mufid mengatakan, untuk memupuk kerukunan, pihaknya tidak hanya sekadar rutin menggelar dialog. Pemeliharaan kerukunan diperkuat dengan sekolah agama-agama dan bina damai (sabda) yang telah lima kali dilakukan sejak 2016.
Sabda diikuti oleh tokoh lintas agama dari lima wilayah kota di DKI Jakarta. Mereka dididik menjadi kader kerukunan di wilayah masing-masing.
Mufid mengingatkan masyarakat tidak gampang terprovokasi oleh isu-isu agama yang berpotensi diangkat dalam kepentingan politik. Menurut dia, pilkada serentak pada 2018 serta Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019 akan menjadi ujian bagi persatuan bangsa.
”Jangan sampai perbedaan pandangan politik menyebabkan disintegrasi bangsa. Untuk itu, nilai-nilai kerukunan harus terus dipererat dengan menjadikan toleransi sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia DKI Jakarta Manuel Raintung juga menilai adanya potensi politisasi dalam perayaan Natal. Apalagi, jika perayaannya membutuhkan pengerahan massa sehingga rentan ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu.
”Kami tidak ingin ada kepentingan lain kecuali untuk merayakan Natal. Kami juga mengimbau perayaan Natal tidak bermewah-mewah, tetapi dengan kesederhanaan,” ujarnya.