Dunia Siber Turut Jadi Ancaman Baru
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan dunia siber menghadirkan ancaman baru bagi kondisi keamanan dan ketertiban bangsa. Praktik kejahatan, seperti ujaran kebencian, hoaks, dan pelaku teror tunggal, didasari dari penyalahgunaan internet.
Dalam pemaparan laporan kinerja Kepolisian Negara RI Tahun 2017 di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (29/12), Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengungkapkan, kejahatan siber selama 2017 meningkat 3 persen dari 2016. Polri menangani 4.931 kejahatan siber pada 2016 dan meningkat menjadi 5.061 kasus pada 2017.
Dari ribuan kasus yang ditangani itu, Polri menyelesaikan 1.368 perkara. Kasus kejahatan siber yang menonjol selama 2017 adalah ujaran kebencian, berita bohong (hoaks), dan penipuan dalam jaringan (daring).
”Penggunaan dunia siber yang sangat bebas menyebabkan kerawanan karena kebebasan kalau provokatif dapat berbahaya. Bahkan, kini media sosial cenderung lebih membentuk opini publik dibandingkan dengan media konvensional,” ujar Tito.
Turut hadir Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Syafruddin, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Moechgiyarto, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komjen Unggung Cahyono, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, serta komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti.
Atas dasar itu, Tito menambahkan, pihaknya tetap menjadikan penanganan hoaks di dunia maya salah satu fokus perhatian pada 2018, terutama dalam pelaksanaan pilkada di 171 wilayah. Sebagai langkah pencegahan, lanjut Tito, pihaknya mengefektifkan Biro Multimedia Divisi Humas Polri yang bertugas menetralisasi pesan hoaks dan provokatif. Ada pula Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen dan Keamanan Polri yang melakukan patroli siber serta Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri yang melakukan penegakan hukum.
Teroris tunggal
Perkembangan dunia siber, kata Tito, juga menghadirkan fenomena baru dalam dunia terorisme, yaitu teroris tunggal. Tito menekankan, fenomena teroris tunggal disebabkan penyebaran radikalisme di dunia maya.
”Tidak hanya jaringan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) serta Al-Qaeda, internet juga menghadirkan fenomena lone wolf (pelaku teror tunggal) yang teradikalisasi lewat internet hingga merencanakan serangan teror dari dunia maya,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Amzulian berharap Polri terus meningkatkan pelayanan ke masyarakat. Terutama menyelesaikan berbagai dugaan pidana yang didasari laporan dari masyarakat.
”Kami paling banyak menerima keluhan publik terkait ketidakpastian penyelesaian laporan masyarakat. Kami mengharapkan Polri membuat sistem penyelesaian suatu kasus sehingga masyarakat memiliki tolok ukur penyelesaian perkara yang dilaporkan,” tutur Amzulian.
Poengky mengingatkan, seluruh anggota Polri harus menunjukkan sikap yang humanis, sederhana, ramah, dan profesional dalam memberikan pelayanan publik. (SAN)