Jangan Gunakan Segala Cara untuk Menangi Pilkada
JAKARTA, KOMPAS – Menyambut Tahun Baru 2018 yang disebut sebagai tahun politik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berharap semua elite politik dan masyarakat Indonesia dapat menjaga nilai kemanusiaan yang telah ada di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada pertengahan 2018 hendaknya tidak diwarnai penebaran isu permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara masyarakat.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai hajat demokrasi di 2017 dilakukan dengan ”segala cara” dan hal itu mengikis nilai kemanusiaan yang ada dalam diri bangsa Indonesia.
”Jangan pernah gunakan kekuasaan untuk menang dengan segala cara. Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berkeadaban Pancasila,” kata Hasto dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu (31/12).
Seperti diketahui, pada 2017 terdapat perhelatan demokrasi yang menyedot perhatian publik, yaitu Pilkada DKI Jakarta sebanyak dua putaran.
Meskipun hanya warga DKI yang memiliki hak pilih, terhubungnya masyarakat dengan mudah melalui media sosial membuat Pilkada DKI menjadi perhatian publik secara nasional.
Pilkada DKI pun berbeda dengan pilkada daerah lainnya, UU Kekhususan No 29 Tahun 2007 tentang kekhususan DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI mengatur, gubernur dan wakil gubernur terpilih harus mengantongi suara di atas 50 persen. Sebanyak 101 daerah, termasuk DKI, menggelar pilkada serentak pada awal 2017.
Pada putaran pertama, Pilkada DKI Jakarta diikuti tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur, yaitu gubernur-wakil gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno.
Pasangan calon petahana saat itu unggul dengan raihan suara 42,99 persen. Namun, pada putaran kedua, Ahok-Djarot dikalahkan Anies-Sandi. Paslon Anies-Sandi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 dengan raihan suara 57,96 persen.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia Bidang Eksternal Tsamara Amany menilai masyarakat Indonesia memasuki 2017 dengan politik identitas, yaitu perdebatan menentukan pemimpin berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam masyarakat Indonesia.
”Sebenarnya yang kami harapkan pesta demokrasi itu menyenangkan. Akan tetapi, justru menyedihkan, misalnya ada poster jenazah yang tidak akan dishalatkan karena perbedaan dukungan di pilkada yang tidak sesuai dengan ras,” ujar Tsamara saat menjadi pembicara dalam diskusi ”Catatan Politik Akhir Tahun 2017 dan Proyeksi Tahun Politik 2018” di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Tsamara, 2018 adalah tahun yang sangat penting bagi situasi politik nasional Indonesia. Pada 2018, terdapat perhelatan pilkada serentak pada Juni.
Siapa kandidat calon legislatif, presiden, dan wakil presiden yang akan bertarung pada pemilu serentak 2019 pun juga sudah dapat diketahui.
”Kalau kita tidak lebih cerdas dalam menggunakan media sosial, khususnya untuk mendukung suatu calon dalam pilkada (menebar kebencian dan mengangkat isu SARA), tahun 2018 bisa menjadi tahun yang tidak menyenangkan. Jangan memperdebatkan latar belakang seseorang yang itu sudah selesai (perdebatannya) seharusnya di bangsa ini,” kata Tsamara.
Tahun politik
Pilkada serentak pada Juni 2018 akan digelar di 171 daerah yang 17 di antaranya merupakan provinsi. Tiga provinsi dengan populasi besar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga akan turut ambil bagian dalam pesta demokrasi tersebut.
Pilkada di tiga daerah itu menjadi salah satu perhatian partai politik dalam Pilkada 2018 karena total pemilih di ketiga provinsi itu hampir 50 persen dari jumlah pemilik hak pilih nasional.
Kondisi ini menjadikan pilkada tahun depan sebagai parameter atau peta politik menuju konsolidasi politik jelang Pemilu 2019.
Hasto Kristiyanto mengatakan, tahun ini akan menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi akan diuji terkait nilai kemanusiaan, ketuhanan, kebangsaan, dan perjuangan menegakkan keadilan sosial yang dimilikinya.
”Demokrasi dalam pemilu hanyalah sebuah alat. Demokrasi jangan memecah belah bangsa hanya demi alasan kemenangan. PDI-P berharap agar pilkada serentak 2018 meskipun terjadi persaingan, bahkan kontestasi kekuasaan untuk memenangkan pemilu, tetapi watak perikemanusiaan dan perikeadilan tetap menjadi tolok ukur utama kualitas demokrasi di Indonesia,” kata Hasto.
Sementara itu, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menilai gejala politik identitas tidak hanya muncul di Indonesia secara tunggal. Kemunculan politik identitas terjadi secara global.
Berbagai kebijakan politik Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan berbagai kebijakan terkait imigran di negara -negara Eropa menjadi contohnya. Hal ini terjadi karena timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
”Problem intoleransi tidak bisa dipisahkan dari masalah-masalah keresahan. Keresahan masyarakat miskin dan kelas menengah yang merasa tidak aman dengan jebakan kemiskinan,” kata Airlangga.
Airlangga mencontohkan keresahan terkait kesejahteraan yang dihadapi kelas menengah Indonesia.
”Misalnya kalangan intelek (berpendidikan) kelas menengah, ketika mereka (mahasiswa) lulus kuliah dan bekerja, mereka kemudian merasa kesejahteraan dari gaji yang didapatkan tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Ada perbedaan dengan harapan dan kenyataan sosial,” ujar Airlangga. (DD14)