Pembaruan peradilan oleh Mahkamah Agung dinilai belum menyentuh sektor-sektor strategis sehingga belum berdampak bagi pencari keadilan.
JAKARTA, KOMPAS - Pembaruan peradilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung belum menyentuh sektor-sektor strategis sehingga dampaknya belum terlalu dirasakan oleh para pencari keadilan. Masih banyak persoalan, seperti praktik peradilan tidak adil (unfair trial), yang dialami oleh pencari keadilan.
Adapun sektor strategis yang semestinya menjadi perhatian Mahkamah Agung (MA) ialah penguatan pengawasan internal, sistem promosi dan mutasi yang jelas, mekanisme rekrutmen yang terbuka, penilaian berkala terhadap hakim, serta pemanfaatan yurisprudensi sebagai mekanisme menjaga keselarasan hukum dan konsistensi putusan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Astriyani dalam diskusi pleno yang digelar MA dan sejumlah lembaga donor, Senin (15/1), mengatakan, reformasi seolah-olah telah diupayakan maksimal oleh MA. Namun, perubahan itu belum dirasakan secara signifikan.
”Segala upaya telah dilakukan oleh MA, mulai dari keterbukaan informasi dalam publikasi putusan hingga pelibatan masyarakat sipil dalam pembaruan peradilan. Akan tetapi, ternyata belum semuanya telah dilakukan oleh MA karena pembaruan peradilan belum menyentuh level-level strategis di tubuh lembaga peradilan,” katanya.
Ternyata belum semuanya telah dilakukan oleh MA karena pembaruan peradilan belum menyentuh level-level strategis di tubuh lembaga peradilan.
Sementara Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Syarifuddin mengatakan, pembaruan peradilan di MA terus dilakukan kendati masih banyak persoalan yang menghadang di depan.
Faktor eksternal
Persoalan yang selama ini terjadi di lingkungan peradilan tidak semuanya berasal dari internal pengadilan. Jajaran penegak hukum lain dan juga advokat turut menyumbang peran.
Banyak kasus yang cacat hukum sejak penyidikan, tetapi dibawa ke penuntutan hingga diajukan ke pengadilan. Dalam hal ini, hakim tidak bisa menolak perkara sehingga tetap harus menanganinya. Namun, saat sidang berjalan, Astriyani berpendapat, hakim dapat menggunakan kewenangannya jika merasa ada penanganan perkara yang salah pada tahapan sebelumnya.
Kasus Yusman Telaumbanua, anak yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli pada 2013, menjadi contoh kekacauan hukum yang muncul sejak penyidikan dimulai. Penyidik belakangan diketahui memalsukan usia Yusman. MA akhirnya menganulir putusan itu melalui putusan peninjauan kembali.
Mantan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah menambahkan, profesi advokat turut menyumbang kekacauan di dunia peradilan.
”Advokat punya peran merusak dunia peradilan. Berhenti melakukan pendekatan terhadap hakim. Tak hanya menyuap, tetapi juga memengaruhi dengan menyebutkan utang masa lalu atau ijon masa depan,” kata Chandra. (IAN/REK)