Pemerintah dan DPR diharapkan memasukkan pasal yang melindungi hak korban aksi teror dalam revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu lebih memperhatikan perlindungan hak-hak korban aksi teror. Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah berlangsung di DPR diharapkan memasukkan pasal yang mengatur kewajiban negara terhadap korban aksi teror.
Para korban dan keluarga korban aksi teror menggantungkan asa mereka dalam proses legislasi yang tengah berjalan ini agar negara tidak lagi mengabaikan haknya. Saat ini, para korban aksi teror yang masih menjalani pemulihan kesehatan akibat trauma tak kunjung menerima bantuan negara sehingga masih mengandalkan bantuan asing.
Para korban dan keluarga korban aksi teror menggantungkan asa mereka dalam proses legislasi yang tengah berjalan ini agar negara tidak lagi mengabaikan haknya.
Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diharapkan memasukkan pasal yang melindungi hak korban aksi teror, seperti kompensasi untuk penyembuhan dan penanganan pada masa kritis, terutama ketika baru mengalami serangan teror.
Direktur Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi di Jakarta, Kamis (25/1), mengatakan, meskipun telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam praktiknya, para korban serangan teror belum dipenuhi hak-haknya secara optimal, di antaranya penanganan medis dan psikologis.
Padahal, kata Hasibullah, pemenuhan hak korban aksi teror merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan negara memberikan perlindungan kepada setiap warga negara. Pemerintah dan DPR perlu mengatur agar negara menjamin penuh biaya pelayanan medis korban pasca-serangan teror.
”Kami berharap semua rumah sakit di seluruh Indonesia memiliki kewajiban penanganan medis kepada korban aksi teror. Dalam beberapa peristiwa teror, ada rumah sakit yang enggan memberikan layanan kesehatan korban karena tidak jelas siapa yang akan menanggung biayanya,” ujarnya.
Salah satu korban bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta, 2004 silam, Ramdani, menuturkan, dia menerima bantuan Pemerintah Australia dalam proses penyembuhannya. Dalam ledakan bom itu, Ramdani harus mendapatkan 17 jahitan di kepala serta mengalami gegar otak ringan. Hingga kini, ia harus diperiksa rutin setiap bulan.
Hal mendasar
Proses pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR terus berjalan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyatakan, pemerintah tetap melibatkan Tentara Nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme dengan mengacu UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengirimkan surat kepada Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme DPR untuk menyampaikan bahwa revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dicabut dan diubah judulnya (Kompas, 17/1). Hal tersebut dinilai memungkinkan karena materi dalam RUU yang saat ini dibahas mengalami perubahan hingga lebih dari 50 persen dari versi aslinya.
Yasonna mengatakan, usulan itu sulit diterima karena perubahan judul dan definisi sebagai hal mendasar dapat mengganggu perkembangan pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah berlangsung hampir dua tahun.
”Seharusnya pemerintah tidak boleh lagi berbeda pendapat karena RUU ini usulan pemerintah, drafnya sudah dimasukkan. Saya bilang kepada teman-teman, sudahlah, kita duduk manis saja, kembalikan ke UU TNI saja,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan.
Adapun Panitia Kerja RUU Antiterorisme akan mengadakan rapat konsinyering mulai dari Kamis hingga Sabtu (25-27/1). DPR dan pemerintah akan membahas bab tentang kelembagaan. Berhubung bab ini juga membahas peran TNI dalam pemberantasan terorisme, surat Panglima TNI akan dibahas.
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Supiadin Aries Saputra, mengatakan, pihaknya dapat memaklumi alasan Panglima TNI. ”Tidak ada alasan untuk kita menolak. Tinggal bagaimana nanti kompromi dan akomodasi,” ujar Supiadin.