JAKARTA, KOMPAS Belum adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya membuat pelaporan tersebut cenderung dilakukan sebatas untuk formalitas. Sejumlah kepala daerah yang diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diketahui memiliki harta kekayaan yang nilainya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Berdasarkan situs Pantau Pilkada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 1.170 bakal calon kepala daerah peserta Pilkada 2018 yang melaporkan harta kekayaannya, ada 20 laporan yang masih dalam proses perbaikan.
Direktur Pendaftaran dan Penerimaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK Cahya Harefa di Jakarta, Selasa (30/1), menyampaikan, bakal calon kepala daerah yang laporan kekayaannya masih butuh perbaikan belum memperoleh tanda terima laporan harta kekayaan. Tanda terima itu dibutuhkan sebagai syarat untuk mengikuti Pilkada 2018.
Menurut dokumen KPK, rata-rata harta kekayaan bakal calon kepala daerah pada pilkada serentak 2018 adalah Rp 9 miliar. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata harta kekayaan kandidat di Pilkada 2017 yang besarnya Rp 17 miliar. Sementara pada 2015, rata-rata kekayaan kandidat adalah Rp 6,7 miliar.
Di antara para kandidat yang akan bertarung di Pilkada 2018, ada yang melaporkan punya kekayaan minus. Mereka antara lain bakal calon Bupati Murung Raya, Kalimantan Tengah, Syafuani. Kekayaan yang dilaporkannya minus Rp 115 juta.
Syafuani mengatakan, kekayaannya minus karena belum memiliki rumah dan masih kredit mobil. Ia yang maju dari jalur perseorangan mengatakan mendapat sumbangan dari pendukungnya, di antaranya uang dan stiker. Bahkan, beberapa warga membuatkan tempat sekretariat pemenangan bagi dia dan pasangannya di pilkada. ”Istri saya PNS dan anak-anak sudah selesai kuliah. Jadi, saya tidak punya beban lagi,” ujarnya.
Saat ini, Syafuani sudah mengumpulkan 11.579 dukungan melalui kartu tanda penduduk. Ia lolos pendaftaran awal dan menunggu hasil verifikasi (Kompas, 30/1).
Tidak jujur
Sejak pilkada serentak 2015, ujar Cahya, selalu ada kandidat yang jumlah harta kekayaan yang dilaporkannya minus.
Dalam verifikasi administrasi yang dilakukan selama ini, KPK belum menemukan kejanggalan dalam laporan harta kekayaan para kandidat. Namun, lanjutnya, ada sejumlah kepala daerah yang belakangan diketahui tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya.
”Biasanya saat kena kasus di KPK baru terbuka semuanya. Ada orang yang melapor hartanya hanya sekitar Rp 6 miliar. Namun, ketika ditelusuri, ternyata nilai hartanya sampai Rp 100 miliar,” ujar Cahya.
Akan tetapi, katanya, sampai saat ini tidak ada aturan yang membuat KPK dapat menindak kandidat yang tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan menyayangkan keberadaan laporan harta kekayaan calon kepala daerah yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai alat seleksi untuk menilai kejujuran kandidat di pilkada.
”Calon kepala daerah hanya wajib menyerahkan laporan. Terlepas isinya jujur atau rekayasa, sudah di luar kewenangan KPK dan Komisi Pemilihan Umum,” ujar Ade.
Padahal, jika ada hukuman yang tegas bagi kandidat yang tidak jujur dalam melaporkan harta kekayaannya, hal itu dapat menjadi bagian dari saringan awal untuk mengikuti pilkada dan membantu masyarakat dalam menilai integritas kandidat ”Jika sudah berbohong dalam melaporkan harta kekayaan, seharusnya tidak bisa ikut dalam seleksi,” kata Ade.