Pendapatan Rp 12,6 Miliar, yang Dilaporkan Rp 1,2 Miliar
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rochmadi Saptogiri, auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan, disebut pernah meminta rekannya sesama auditor utama di BPK, Ali Sadli agar memberikan keterangan berbeda saat sidang lanjutan suap Rp 240 juta dari Kementerian Desa, dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada Rabu (31/1), di Jakarta.
Keterangan berbeda itu terkait dengan penerimaan suap Rp 240 juta dengan maksud agar laporan keuangan Kemendesa mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Selain itu, terkait dengan pidana pencucian uang, pendapatan Rochmadi, yang dia akui sebesar Rp 12,6 miliar selama 2009-2014, yang dilaporkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada 2014 hanya Rp 1,2 miliar dan 4.610 dollar AS. Ini artinya, masih banyak harta kekayaannya yang tidak dilaporkan ke negara.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Khaerudin, saat sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, mengatakan, Ali Sadli mengaku bahwa dirinya diminta oleh Rochmadi untuk mengakui penerimaan suap Rp 200 juta itu untuk kepentingan Ali sendiri. Jika mengaku demikian, menurut Ali, Rochmadi siap membantu Ali dari belakang. ”Apa benar Ali akan dibantu dari belakang?” kata Khaerudin kepada Rochmadi.
Namun Rochmadi membantah keterangan Ali itu dan dirinya berkilah bahwa dirinya sesungguhnya tak tahu apa pun terkait uang Rp 200 juta dari Kemendesa.
Bahkan menurut Rochmadi saat diperiksa di KPK, dia sempat menanyakan kepada Ali soal penerimaan uang itu karena dia tak pernah mengetahuinya. ”Bagaimana saya bilang Rp 200 juta, padahal saya tidak tahu soal uang itu Saat bertemu Ali di mushala KPK, itu saya tanyakan kepada Ali, (uang) itu soal apa,” kata Rochmadi.
Nama dan foto beda
Namun, Rochmadi tak mampu mengelak saat ditanya jaksa terkait dengan kartu tanda penduduk dan nomor pokok wajib pajak atas nama Andika Apriyanto. Meski tercetak atas nama Andika, KTP itu memuat foto dengan wajah Rochmadi. Kartu identitas itu digunakan untuk membeli mobil Honda seharga Rp 720 juta dan mobil itu diduga bagian dari tindak pidana pencucian uang.
Khaerudin pun menegaskan, KTP itu ditemukan di laci kerja Rochmadi di kantor BPK. Foto kartu identitas itu juga tersimpan di telepon seluler Rochmadi. Saat dikonfirmasi, Rochmadi tak menepis bahwa kartu identitas itu sejak 2016 di laci kerjanya. ”Kenapa disimpan begitu lama, sampai fotonya juga disimpan di ponsel?” ujar Khaerudin. Rochmadi tak bisa menjawab. ”Saya tidak bisa jawab. Hanya memang ada KTP itu,” ucap Rochmadi.
Jaksa pada KPK pun menyinggung jumlah harta kekayaan Rochmadi yang dilaporkan di LHKPN maupun yang disimpan dalam bentuk tunai. Rochmadi mengaku memiliki pendapatan hingga Rp 12,6 miliar selama 2009-2017. Padahal, dia mengungkapkan penghasilannya sebagai auditor utama yang dibawa pulang tiap bulan saat ini sebesar Rp 100 juta atau Rp 1,2 miliar per tahun. Rochmadi sendiri mengaku baru diangkat menjadi eselon 1 untuk menjabat sebagai auditor utama sejak 2014.
Dengan penghasilan Rp 1,2 miliar per tahun, pendapatannya pada 2014-2017 itu diperkirakan Rp 4,8 miliar. Oleh karena itu, pendapatannya selama 2009-2013 sebesar Rp 7,8 miliar, dengan rata-rata pendapatan Rp 1,5 miliar, lebih besar dibandingkan dengan penghasilannya sebagai eselon 1.
Rochmadi mengakui ada sejumlah harta kekayaannya berupa uang tunai dan logam mulia yang tak dilaporkan di LHKPN 2014. Hal itu karena dia tak sempat memerinci laporan LHKPN yang diajukan pada 8 Februari 2014 sebagai syarat pengajuan kepada presiden untuk diangkat sebagai eselon 1.
”Saya memang sejak mahasiswa senang menyimpan uang tunai, termasuk logam mulia. Begitu juga uang Rp 1,1 miliar yang ditemukan penyidik KPK di brankas saya, itu uang saya,” ujarnya. (MDN)