Negara dirugikan hingga Rp 2,7 triliun akibat penerbitan izin usaha pertambangan di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Izin yang dikeluarkan Gubernur Sultra (nonaktif) Nur Alam diduga tidak sesuai aturan.
JAKARTA, KOMPAS - Izin usaha pertambangan nikel yang diterbitkan secara ilegal oleh Gubernur Sulawesi Tenggara (nonaktif) Nur Alam untuk PT Anugrah Harisma Barakah di Pulau Kabaena, Sultra, telah mengakibatkan aktivitas tambang yang merusak lingkungan dan menyebabkan kerugian hingga Rp 2,7 triliun.
Kerusakan lingkungan itu ditemukan pada areal hutan di Pulau Kabaena yang dibuka untuk tambang nikel seluas 357,2 hektar. Sementara Pulau Kabaena yang memiliki luas 873 kilometer persegi atau 87.300 hektar tergolong pulau kecil.
Kerugian itu disampaikan Basuki Wasis, ahli ilmu kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam sidang kasus suap dalam penerbitan izin tambang di Sultra, dengan terdakwa Nur Alam, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/2).
Selain menimbulkan kerugian, menurut Basuki, aktivitas penambangan di Pulau Kabaena yang tergolong pulau kecil seharusnya tidak diperbolehkan. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Alasannya, menurut Basuki, pulau kecil memiliki daya dukung ekosistem yang kecil pula. Dengan demikian, kegiatan yang dapat dilaksanakan di pulau kecil terbatas pada kegiatan konservasi. ”Pertambangan yang dilaksanakan di pulau kecil akan membahayakan ekosistem pulau tersebut,” ujarnya.
Hasil pengamatan lapangan dan analisis kerusakan tanah, lanjut dia, dari luas areal 357,2 hektar yang ditambang, yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) seluas 280,49 hektar. Sisanya, areal tambang 76,71 hektar tak punya IUP.
Kerusakan lingkungan
Pada areal tambang itu ditemukan penebangan vegetasi hutan. Permukaan tanah dikeruk sedalam lebih dari 25 sentimeter sehingga menghilangkan lapisan tanah yang subur. Padahal, dibutuhkan waktu 100 tahun untuk proses suksesi pelapukan dari pulau berbatu menjadi pulau dengan permukaan tanah yang subur.
Basuki kemudian merinci nilai kerugian yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan itu yang mencapai Rp 2,7 triliun, meliputi kerugian ekologi Rp 1,4 triliun, kerugian ekonomi Rp 1,1 triliun, dan kerugian akibat biaya yang harus ditanggung untuk pemulihan lingkungan Rp 31,03 miliar. Penghitungan kerugian itu didasarkan pada sejumlah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Peraturan Menteri Kehutanan.
Izin tambang nikel di Pulau Kabaena itu diterbitkan Nur Alam untuk kepentingan bisnis PT Billy Indonesia di bawah Widdy Aswindi. Penerbitan izin itu juga melibatkan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Sultra Burhanuddin. Untuk menjalankan usaha tambang itu, Nur Alam menggunakan PT Anugrah Harisma Barakah. Selama 2011 hingga 2014, PT Anugrah memproduksi 7,1 juta metrik ton basah nikel yang dijual ke Richcorp International dan Well Victory International seharga Rp 2 triliun. Dari persidangan sebelumnya, diungkap Nur Alam diduga memperoleh imbalan hingga Rp 40 miliar dari Richcorp International. (MDN)