JAKARTA, KOMPAS — Belum tuntas pemeriksaan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, elemen masyarakat sipil kembali melaporkan Arief. Kali ini, Arief diduga melanggar kode etik lantaran potongan percakapan dan pendapatnya di suatu grup media sosial Whatsapp yang substansinya dinilai mengomentari putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang perluasan perzinaan.
Laporan dugaan pelanggaran etik itu disampaikan Koordinator Program Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, Selasa (20/2), di Sekretariat Dewan Etik MK, Jakarta. Ini adalah kelima kalinya Arief dilaporkan ke Dewan Etik MK, setelah dua laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK berbuah dua sanksi etik ringan.
Arief pertama kali dikenai sanksi etik pada 2016 saat menitipkan katebelece terkait seorang jaksa dari Jawa Timur kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) saat itu, Widyo Pramono. Arief kembali dijatuhi sanksi etik setelah bertemu pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, yang tanpa undangan resmi pada 2018.
Dua laporan lain juga diserahkan kepada Dewan Etik MK, yakni soal laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang belum diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 dan laporan pelanggaran etik oleh peneliti MK Abdul Ghoffar (31 Januari 2018), yang kini ditangani Dewan Etik MK.
Mengenai laporan terbaru, Julius mengatakan, isi laporan dugaan pelanggaran etik Arief terkait pernyataannya di sebuah grup WA. ”Di dalam postingan itu, substansinya Arief tidak hanya mengomentari putusan MK 14 Desember 2017, tetapi juga menggunakan kata-kata kurang senonoh atau kasar dan mendiskreditkan hakim-hakim lain, termasuk komunitas tertentu yang ada terkait perlindungan HAM. Ada lima prinsip dasar yang dilanggar oleh hakim konstitusi yang juga Ketua MK,” tutur Julius.
Mengenai hal ini, Arief enggan berkomentar. Adapun Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan belum mengetahui adanya laporan tersebut.
Kemarin, dua akademisi hukum, yakni Bivitri Susanti dan Widodo Dwi Putro, menyerahkan surat permintaan pengunduran diri Arief yang ditandatangani 76 guru besar dari sejumlah perguruan tinggi. ”Petisi dari 76 guru besar ini lebih sebagai imbauan moral kepada Prof Arief agar beliau mau mundur. Selain itu, kami juga melampirkan salah satu makalah Prof Satjipto Rahardjo tentang etika yang pada intinya, etika diletakkan lebih tinggi dari UU atau norma hukum lainnya. Beliau (Satjipto) adalah guru kami semua dan juga guru Prof Arief sehingga kami berharap, dengan membaca makalah tersebut, hati beliau tergerak,” kata Bivitri. (REK)