Semua pihak idealnya berkontribusi mengatasi kemungkinan stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. DPR dan partai politik berperan penting dalam memberantas korupsi.
JAKARTA, KOMPAS - Belajar dari stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2017, penegak hukum harus mewaspadai memburuknya indeks persepsi korupsi pada tahun politik. Sepanjang tahun ini akan digelar Pemilihan Kepala Daerah 2018 serta persiapan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 yang dapat membuat kasus korupsi politik meningkat.
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2017 berdasarkan survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) tidak bergerak dari tahun 2016, yakni di angka 37 dalam skala 0-100 dengan 0 dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih. Dengan skor itu, Indonesia ada di urutan ke-96 dari 180 negara. Pada 2016, Indonesia ada di peringkat ke-90 dari 176 negara (Kompas, 23/2).
Peneliti TII, Wawan Suyatmiko, di Jakarta, Jumat (23/2), mengatakan, semua pihak idealnya berkontribusi mengatasi kemungkinan stagnasi IPK, yang bisa mengarah kepada pelemahan upaya pemberantasan korupsi di tahun politik ini. Pasalnya, salah satu sumber penyebab tingginya praktik korupsi di Indonesia ialah politik uang.
”Dari hasil survei TII dan kemerosotan skor dalam World Justice Project (WJP) terlihat bahwa para pejabat publik kita, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun militer, masih menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan pribadi,” kata Wawan.
Selain itu, peran Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik untuk menaikkan IPK amat menentukan karena berbagai survei menempatkan kedua institusi itu sebagai lembaga paling korup. Survei TII tahun 2017 tentang Global Corruption Barometer, misalnya, menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Oleh karena itu, untuk mendukung IPK, salah satu upaya ialah menekan korupsi di kalangan wakil rakyat.
”Tujuannya bukan hanya untuk memperbaiki citra DPR, melainkan juga kelakuan anggotanya. Banyak anggota DPR yang tertangkap korupsi oleh KPK. Bahkan, ada kasus yang melibatkan (mantan) ketua DPR dengan jumlah kerugian negara yang sangat besar,” tuturnya.
Di dalam perhelatan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang digelar secara serentak, peran penegak hukum, seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan, serta aparat peradilan, tidak akan cukup untuk menaikkan IPK apabila praktik ijon tender, mahar politik, dan sumber dana kampanye yang tidak jelas terus terjadi dalam pesta demokrasi.
Peran parpol
Parpol didorong untuk menerapkan transparansi dalam penerimaan dana kampanye, serta peruntukannya di dalam pilkada dan pemilu. ”Harus jelas sumbangannya berapa dan dari mana saja. Pebisnis-pebisnis politik, termasuk mereka yang menggunakan sistem ijon tender, harus dihentikan. Mereka yang menjadi tim sukses pasangan calon kepala daerah pasti ada maunya. Sebab, nanti kalau calon tersebut menang, mereka bisa mendapat proyek pemerintah daerah. Ijon-ijon seperti itu harus dikurangi oleh politisi dan parpol,” papar Wawan.
Dukungan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga ditagih karena Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Antikorupsi belum juga ditandatangani Presiden Joko Widodo. Regulasi itu nantinya akan menjadi pedoman dalam pemberantasan korupsi.
Regulasi mengenai strategi nasional tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi pun perlu dievaluasi untuk mempelajari hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk menaikkan IPK. ”Pertama kali yang harus disadari ialah tugas menaikkan IPK ini bukan hanya tugas KPK, melainkan memerlukan dukungan banyak pihak,” katanya.
Dari sembilan sumber data IPK, ada dua sumber yang nilainya turun, yakni WJP dan PERC (Political and Economic Risk Consultancy). Kondisi ini semestinya menyadarkan pemangku kepentingan di sektor politik dan penegakan hukum.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, konsistensi penegakan hukum lebih dibutuhkan untuk membangun kepercayaan bahwa hukum adalah tolok ukur penanganan perkara. Bukan faktor lain, apalagi suap terhadap penegak hukum.
”Keinginan berbenah di sektor politik ini tentu sangat penting dilakukan. Jika tidak dibenahi bersama-sama, sulit rasanya IPK Indonesia bisa meningkat,” kata Febri. (REK)