DENPASAR, KOMPAS — Setelah memutuskan untuk mencalonkan kembali Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Umum 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengkaji sejumlah nama dari internal maupun eksternal partai untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Jokowi. Salah satu nama yang mengemuka adalah memasangkan kembali Jokowi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ketua Dewan Pengurus Pusat PDI-P (non-aktif) Puan Maharani sehabis penutupan acara Rapat Kerja Nasional III PDI-P di Denpasar, Bali, Minggu (25/2), mengatakan, meskipun rakernas tak membahas calon wakil presiden untuk Jokowi, tetapi pembicaraan seputar itu sudah dibahas secara internal dan terbatas.
Ia pun mengatakan, pembahasan seputar nama-nama cawapres itu sudah mulai mengerucut ke beberapa nama yang dinilai pantas mendampingi Jokowi. Baik dari segi elektabilitas, kesamaan ideologi, dan pandangan, maupun pertimbangan berbagai tantangan kepemimpinan ke depan.
”Tidak mungkin dalam politik ini tidak bicara sampai masalah cawapres. Oleh karena itu, semua kemungkinan kita bicarakan. Politik itu dinamis sekali. Jadi, bisa saja ada nama kemudian tiba-tiba muncul, lalu tiba-tiba hilang (lagi),” kata Puan.
Salah satu nama yang mengemuka adalah kembali memasangkan Jokowi dengan Wapres Kalla meskipun disebut-sebut ada kendala aturan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan pasal tersebut menyatakan, Presiden dan Wapres memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, untuk satu kali masa jabatan.
Sebagaimana diketahui, sebelum berpasangan dengan Jokowi, Kalla, yang kader Partai Golkar, pernah menjadi Wapres untuk presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, Puan mengatakan, PDI-P saat ini terus mengkaji kemungkinan Wapres Kalla tetap bisa menjadi cawapres Jokowi pada Pemilu 2019.
Ia menilai, masih ada celah terkait pencalonan seorang wapres yang sudah dua kali menjabat jabatan serupa. Ia pun membandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang penerapan sejumlah pasalnya masih berubah di tataran implementasi.
”Walau sudah ada hitam putihnya, tetapi implementasi konkret (UU Pemilu) di lapangan masih diubah-ubah. Jadi, kita lihat saja bagaimana nanti dinamikanya. Tentu saja ini menjadi topik yang harus kami kaji di internal partai,” kata Puan lagi.
Fatwa MK
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, aturan dalam UUD 1945 saat ini masih belum jelas karena terbuka terhadap tafsir yang luas. Oleh karena itu, diperlukan opini hukum yang baru untuk memperjelas posisi dan kedudukan aturan tersebut.
”Pengertian dua periode itu kalau diasumsikan seperti berlaku di UU Pilkada, tidak boleh berlaku dua periode berturut-turut untuk kepala daerah, bukan wakilnya. Maka, untuk konteks capres-cawapres ini, perlu ada tafsir hukum lain. Kita akan minta fatwa atau putusan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Kendati demikian, hingga saat ini, PDI-P belum mengambil keputusan apa pun mengenai cawapres Jokowi. ”Kami belum sampai pada titik nama cawapres. Kami masih bicara kriteria, juga figur-figur,” ujar Basarah.
Wakil Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, ada kemungkinan Kalla dipasangkan lagi dengan Jokowi. Namun, hal itu masih membutuhkan kajian yang mendalam terkait aturan dalam UUD 1945. ”Kalau masih memungkinkan dari segi aturan, kita bicara ke tingkat selanjutnya. Namun, kalau tidak, kita tidak memaksa,” ujarnya. (AGE)