JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakomodasi peran paralegal di dalam sistem hukum nasional. Pengakuan itu ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum.
Permenkumham yang diundangkan pada 26 Januari 2018 itu antara lain mengatur tentang pelatihan dan perekrutan paralegal oleh organisasi bantuan hukum, serta dibolehkannya paralegal memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat, baik dalam penanganan perkara di pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (nonlitigasi).
Untuk menjadi paralegal, seseorang tak harus bergelar sarjana hukum. Pasal 4 Permenkumham No 1/2018 menyebutkan, syarat menjadi paralegal; WNI dengan usia paling rendah 18 tahun, memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat, dan memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan Hukum.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih, Minggu (25/2), di Jakarta, mengatakan, pemerintah merasa negara perlu hadir memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, marjinal, dan berada di daerah yang minim advokat atau jauh dari jangkauan kemampuan mereka. Peraturan itu juga mengatur pelatihan paralegal sehingga mumpuni dalam memberikan bantuan hukum.
Dihubungi terpisah, Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengatakan, terbitnya permenkumham itu merupakan kemunduran. Tak ada yang bisa menjamin kualitas dan kapabilitas paralegal dalam memberikan bantuan hukum.
”Kenapa pemerintah tidak mengoptimalkan advokat yang ada. Saat ini, Peradi beranggotakan lebih dari 50.000 advokat yang tersebar di seluruh Indonesia. Kami selalu menjaga kualitas karena seseorang tidak bisa menjadi advokat dengan mudah lantaran harus ada pendidikan hukum, menjalani pendidikan profesi, dan magang dua tahun. Permenkumham ini justru menurunkan kualitas advokat,” katanya. (REK)