JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak akan berkukuh mempertahankan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3 dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sikap ini tidak biasa mengingat pemerintah dan DPR, dalam proses legislasi, berkedudukan setara sebagai pembuat undang-undang.
Berbeda dengan pemerintah, DPR akan mempertahankan argumentasi hukum norma-norma di dalam UU MD3 tersebut.
Direktur Jenderal Perundang- undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana saat dihubungi pada Minggu (25/2) di Jakarta mengatakan, tidak ada keharusan bahwa Presiden mesti mengikuti atau berupaya mempertahankan isi undang-undang yang sedang diuji materi.
”Mungkin saja nanti di dalam diskusi di MK kami menyadari ada kekurangan, lalu memperbaiki. Sebab, tak ada ketentuannya pemerintah harus selalu mengikuti UU itu. Saat pembahasan, bisa juga pemerintah menyetujui UU, tetapi juga bisa mendapati sesuatu yang tidak relevan, misalnya ditemukan konflik antarasas-asas atau konflik norma dengan UU lain secara horizontal ataupun dengan ketentuan yang lebih tinggi. Kalau kondisinya begitu, ya, kami harus perbaiki,” papar Widodo.
Hingga akhir pekan lalu, MK telah menerima permohonan uji materi dari dua pihak, yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Mereka mempersoalkan Pasal 73 Ayat (3) dan (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245. Tiga pasal dalam UU MD3 itu dinilai menghambat kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalkan rakyat. Pasal-pasal itu antara lain mengatur tentang hak imunitas, upaya paksa yang bisa dimintakan anggota DPR kepada kepolisian terhadap orang yang menghina martabat anggota DPR, serta kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan upaya hukum apabila ada orang mencemarkan martabat anggota DPR.
Aneh
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, sikap pemerintah yang tidak akan mempertahankan UU MD3 di MK merupakan buntut dari keanehan proses legislasi antara pemerintah dan DPR.
”Kalau memang sedari awal tidak setuju dengan rumusan itu, ya, seharusnya menolak membahas dan tidak menyetujui bersama. Menjadi hal aneh kalau pemerintah membahas dan menyetujui bersama suatu UU, tetapi tiba-tiba tidak mau tanda tangan,” tutur Zainal.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan untuk tidak menandatangani UU MD3 hasil revisi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto melihat, sikap pemerintah yang tidak berkeras mempertahankan UU MD3 tidak bertentangan dengan hukum acara di MK. Kendati demikian, semestinya sikap tegas pemerintah itu ditunjukkan ketika pembahasan UU dengan DPR.
”Saat sidang di MK, pemerintah harus bisa menjelaskan kenapa bisa keluar rumusan pasal yang diujikan ke MK itu, bagaimana pembahasannya dengan DPR, latar belakang, dan kenapa pasal itu akhirnya dipertahankan,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menuturkan, DPR sebagai lembaga akan mempertahankan argumentasi hukum norma-norma yang terdapat di UU MD3. (REK)