Memanggungkan Demokrasi di Papua
Kontestasi politik di Papua jadi alat uji yang cukup baik untuk melihat wajah demokrasi di wilayah itu. Papua masuk kategori rawan tinggi dalam pilkada serentak 2018 meski kini di lapangan suasananya masih cenderung senyap. Papua memang menyimpan narasi sendiri dalam kontestasi politik. Demokrasinya dibayangi potensi bara yang tak terduga.
Kesenyapan itu terasa ketika Kompas menginjakkan kaki di Papua pekan pertama Februari lalu. Sudut-sudut Kota Jayapura, ibu kota Papua, masih sepi dari spanduk atau baliho terkait pilkada serentak 2018. Alat peraga sosialisasi pilkada, justru ditemukan di pinggiran kota sepanjang perjalanan menuju Bandara Sentani atau masuk di wilayah Kabupaten Jayapura.
Namun, kesenyapan dan sepinya alat peraga sosialisasi bukan jaminan tidak ada dinamika politik. Papua menjadi wilayah yang masuk kategori rawan tinggi dalam Pilkada 2018. Kerawanan pilkada di Papua terbaca pada hasil riset Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018. Papua tercatat paling rawan dari 17 provinsi yang menggelar Pilkada 2018.
Dari data IKP 2018, dengan rentang angka 1-5, Papua memiliki skor 3,41, tertinggi dari 17 provinsi yang menggelar pilkada. Dari tiga dimensi yang jadi dasar Bawaslu menentukan indeks kerawanan, ketiganya masuk kategori rawan tinggi di Papua. Ketiga dimensi itu adalah partisipasi (3,83), penyelenggaraan (3,24), dan kontestasi (3,11).
Dari dimensi penyelenggaraan, misalnya, di pilkada sebelumnya, ketua dan anggota Bawaslu Papua tersangkut korupsi dana pilkada gubernur. Kasus korupsi juga menjerat anggota KPU Papua.
Integritas penyelenggara pemilu memang jadi salah satu problem. Selain netralitas, penyelenggara pemilu sering terlibat praktik manipulasi suara. Selain di tingkat provinsi, problem yang sama juga terjadi di tingkat kabupaten. Sebut saja di Kabupaten Mimika. Di wilayah yang akan menggelar pilkada 27 Juni 2018 ini juga ada problem integritas penyelenggara dan menyumbang tingkat kerawanan. Pada pilkada sebelumnya dan Pemilu 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan dua putusan pemberhentian atas kasus netralitas dan manipulasi suara oleh penyelenggara pemilu di Mimika. Di kabupaten ini juga pernah terjadi perusakan kantor KPU kabupaten dan Panwaslu yang disertai dengan pembakaran mobil penyelenggara. Tak heran jika kemudian IKP Kabupaten Mimika (skor 3,43) tertinggi dibandingkan 154 kabupaten/kota lain yang akan menggelar pilkada tahun ini.
Tingginya potensi konflik di Papua ini diakui warga Kota Jayapura, Suwandi Idris. ”Identitas kesukuan masih tinggi di sini sehingga potensi konflik masih ada,” kata Suwandi yang aktif menjalin forum komunikasi bersama warga dengan membentuk Komunitas Gagasan dan Analisis Pembangunan Papua. Tingginya potensi konflik di Papua juga diakui peneliti masalah Papua, Bhaskara Anggarda.
Selain faktor kesukuan, perbedaan geografis antara gunung dan pantai juga memberikan warna di masyarakat Papua dalam pilihan politik. Menurut Suwandi, masyarakat di wilayah pegunungan dalam lebih kuat dengan sosok sang calon. Sementara masyarakat pantai, yang sebagian besar di wilayah perkotaan, selain sosok juga mempertimbangkan kinerja dan program. Dalam pilkada kali ini, dua calon gubernur, yaitu Lukas Enembe dan John Wempi Wetipo, lebih mencerminkan sosok dari gunung. Sementara kedua calon wakil gubernur lebih dekat dengan masyarakat pantai.
Politik uang
Selain kesukuan, kultur, dan geografis, faktor praktik politik uang juga memberi kontribusi terhadap kerawanan di Papua. ”Politik uang sangat sulit dibuktikan kecuali tangkap tangan. Bawaslu sering menerima laporan politik uang, tetapi tidak disertai bukti,” kata anggota Bawaslu Papua, Anugrah Pata.
Bawaslu Papua pernah berhasil mengungkap kasus politik uang. Seperti yang terjadi dalam Pilkada Kabupaten Jayapura 2017, seorang pelaku yang juga anak dari calon wakil bupati Jayapura saat itu tertangkap tangan membagi-bagikan uang. Pelaku pun tertangkap dan diproses hukum. Pada Maret 2017, pelaku divonis 15 bulan penjara.
Menurut Anugrah Pata, kasus tersebut hanya sebagian kecil yang bisa diungkap. Temuan di lapangan menyebutkan, fenomena politik uang di Papua sudah jadi hal biasa. Rahuni, warga Kota Jayapura, mengaku pernah menerima uang dari tim sukses pasangan calon saat pilkada sebelumnya, termasuk ketika Pemilu 2014. ”Saya terima Rp 200.000, tapi, ya, belum tentu saya pilih. Mereka tak tahu saya milih siapa,” ujarnya.
Demokrasi
Tingginya tingkat kerawanan di pilkada terpotret pada wajah demokrasi di Papua yang cenderung berjalan landai. Lihat saja Indeks Demokrasi Indonesia yang menempatkan Papua di urutan ke-27 dari seluruh provinsi. Namun, kondisi ini bukan berarti mimpi buruk bagi demokrasi Papua. Sejak 2016, Indeks Demokrasi Papua meningkat jadi 61,02 dari sebelumnya 57,55 meski Papua pernah berada di indeks terbaik dalam delapan tahun terakhir, yakni 63,80 pada 2009.
Kondisi ini tidak lepas dari indikator kebebasan sipil di Papua yang relatif cenderung meningkat. Peningkatan ini tidak lepas dari terbukanya sejumlah variabel di dalamnya, seperti kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan. Gubernur Papua Lukas Enembe mengakui, Papua harus menjadi wilayah terbuka bagi siapa saja. ”Kami jaga kerukunan umat beragama. Satu agama dengan yang lain kami selalu bersaudara,” ujar Lukas saat menyampaikan sambutan dalam peringatan 163 Tahun Hari Pekabaran Injil di Stadion Mandala, Kota Jayapura, Senin (5/2).
Pernyataan Lukas ini bagian dari upaya menguatkan nilai-nilai demokrasi di Papua.
Kini, Lukas kembali berlaga bersama pasangan wakil gubernur, Klemen Tinal, untuk mempertahankan kursinya dalam pilkada tahun ini. Pasangan ini diusung oleh koalisi sembilan partai politik (Demokrat, Golkar, Hanura, PKB, Nasdem, PAN, PKS, PPP, dan PKPI). Koalisi ini menguasai 76,4 persen kursi DPRD Papua.
Mereka akan berkontestasi dengan pasangan John Wempi Wetipo-Habel Melkias Suwae yang diusung koalisi PDI-P dan Gerindra yang mengantongi 23,6 persen kursi DPRD Papua. Pasangan ini ibarat koalisi dua bupati. John Wempi Wetipo atau biasa dikenal dengan akronim JWW adalah Bupati Jayawijaya dua periode (2010-2015 dan 2016-2021). Sementara Habel Melkias Suwae adalah Ketua DPD Golkar Jayapura yang juga mantan Bupati Jayapura (2006-2011). Di Pilkada Papua 2013, Habel Melkias pernah maju sebagai salah satu calon gubernur yang menjadi rival Lukas Enembe.
Tentu, pertarungan dua pasangan calon di Pilkada Papua ini tidak lepas dari gengsi dari partai politik yang mengusungnya, terutama Partai Demokrat dan PDI-P, yang selama ini menjadi partai politik cukup dominan di Papua. Namun, lebih dari itu, pilkada tahun ini tak ubahnya ujian bagi demokrasi di Papua. Lewat pilkada kali ini, semoga demokrasi benar-benar menemukan panggungnya di Papua....
(Yohan Wahyu/Litbang Kompas)