JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah menerima tiga permohonan uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hasil revisi. Namun, hingga Selasa (27/2), ketiga permohonan tersebut belum juga diregister oleh MK. Alasannya, berkas permohonan tersebut belum lengkap.
Tiga permohonan itu masing-masing diajukan oleh Zico Leonard Simanjuntak dan Satria Collins (warga) yang didaftarkan pada 26 Februari, Grace Natalie dan Raja Juli Antoni (dari Partai Solidaritas Indonesia/PSI) didaftarkan pada 23 Februari, serta Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) didaftarkan pada 13 Februari.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, permohonan itu belum diregistrasi karena masih ada berkas yang belum diserahkan kepada MK. Biasanya, setelah berkas permohonan uji materi diterima oleh Kepaniteraan MK, berkas diperiksa syarat dan kelengkapannya, seperti apakah sudah ada surat permohonan dan lampirannya, daftar alat bukti, alat bukti, dan surat kuasa.
”Kalau ada yang belum lengkap, Kepaniteraan MK belum bisa meregister. Pemohon harus melengkapi berkas permohonan terlebih dulu baru bisa diregister dan diberi nomor perkara,” kata Fajar.
Setelah diregister, MK akan menggelar sidang perdana berupa pemeriksaan pendahuluan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.
Para pemohon uji materi itu antara lain mempersoalkan Pasal 73 Ayat (3) dan (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245. Tiga pasal dalam UU MD3 itu dinilai menghambat kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalkan rakyat. Pasal-pasal itu antara lain mengatur tentang hak imunitas, upaya paksa yang bisa dimintakan anggota DPR kepada kepolisian terhadap orang yang menghina martabat anggota DPR, serta kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan upaya hukum apabila ada orang mencemarkan martabat anggota DPR (Kompas, 26/2).
Sementara itu, penolakan terhadap UU MD3 hasil revisi terus bergulir. Di Pontianak, Kalimantan Barat, kemarin, sejumlah organisasi mahasiswa mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani naskah UU MD3 hasil revisi.
Seruan itu disampaikan salah satunya oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Pontianak. Mereka menggelar aksi damai di Bundaran Digulis, Pontianak. Ketua Umum PMII Kota Pontianak Abdul Wesi Ibrahim mengatakan, ada beberapa pasal yang dinilai mengkriminalkan kebebasan rakyat berpendapat.
PMII Kota Pontianak secara tegas menolak pasal-pasal yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. PMII berpandangan setiap warga negara berhak mengkritik kinerja anggota dan lembaga DPR.
Secara terpisah, desakan yang sama dikemukakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Pontianak. Ketua PMKRI Pontianak Sukardi menilai, rakyat berhak mengkritik tugas dan wewenang DPR. Jika revisi ini disetujui, menurut Sukardi, ketentuan tersebut akan membungkam suara rakyat.