JAKARTA, KOMPAS — Dijadikannya isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA sebagai alat politik berpotensi meningkatkan sikap intoleransi dan menebalkan sikap konservatisme beragama di kalangan masyarakat. Partai politik dan politikus diharapkan tidak bermain aman dengan hanya memainkan isu SARA demi meraih suara mayoritas untuk memenangi kontestasi pemilihan kepala daerah atau legislatif tanpa memikirkan dampak buruknya bagi bangsa dan negara.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, Selasa (27/2), di Jakarta, mengatakan, tren kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah daerah, serta perhitungan dalam kontestasi politik.
Kekerasan terhadap kebebasan beragama bukan tidak mungkin akan menguat setelah perhelatan Pilkada 2018 apabila isu SARA terus dijadikan alat politik.
Hasil riset Setara Institute sepanjang 2017 menunjukkan, terdapat 201 kejadian pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang menyebar pada 26 provinsi yang diteliti. Jawa Barat menjadi daerah dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama paling tinggi, yakni dengan 29 kejadian.
Posisi itu diikuti Jakarta dengan 26 kejadian, Jawa Tengah 14 kejadian, Jawa Timur 12 kejadian, dan Banten 12 kejadian. Baru-baru ini, pada 26 Februari, Setara Institute juga melaporkan adanya pelarangan beribadah di Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
”Sekarang ini era otonomi daerah sehingga pemerintah daerah sangat memperhitungkan pemetaan politik lokal. Pertama, mereka mempertimbangkan stabilitas keamanan. Kedua, mereka ingin meraih dukungan dari kelompok yang dianggap mayoritas sehingga akhirnya kelompok minoritas dikorbankan. Polanya hampir serupa terjadi di sejumlah daerah,” kata Bonar.
Perhitungan politik semacam itu mengancam kebebasan beragama dan berbahaya apabila perspektif yang sama dijadikan alat politik mendulang suara. ”Tidak bisa dimungkiri dalam beberapa dekade ini konservatisme keberagamaan menguat, eksklusivisme penafsiran teologis muncul, dan tumbuhlah tudingan-tudingan sesat bagi mereka yang berbeda pandangan. Ini berbahaya bagi kehidupan bangsa yang majemuk,” tutur Bonar.
Banyak kelompok terdidik
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, mengatakan, isu SARA kemungkinan masih dijadikan alat untuk meraih dukungan. Sayangnya, kalangan menengah yang merupakan kelompok terdidik lebih banyak termakan isu ini dibandingkan dengan massa di akar rumput.
Arie meyakini sebagian besar massa akar rumput di Tanah Air tidak mudah terbakar dengan isu-isu semacam itu. Dengan begitu, kekacauan besar karena isu SARA tidak akan terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Lebih jauh ia menjelaskan, tidak ada satu terapi yang sama untuk menangani persoalan intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang bertautan dengan kepentingan politik.
”Perlu adanya kombinasi antara penegakan hukum dan dialog antarumat beragama guna mencegah provokasi memengaruhi masyarakat. Pemerintah juga harus tegas menindak mereka yang secara sistematis memproduksi kebohongan, terutama yang menggunakan sentimen SARA,” ujarnya menjelaskan. (REK)