Di Kendari, keluarga Asrun telah berkuasa selama sekitar 10 tahun. Asrun adalah wali kota Kendari selama dua periode. Setelah masa jabatannya habis, dia digantikan Adriatma yang dilantik menjadi wali kota setelah menang di Pilkada 2017. Saat ini, Asrun jadi salah satu calon di pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pengajar ilmu politik Universitas Halu Oleo, Kendari, Eka Suaib, menuturkan, setidaknya ada 15 satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Kota Kendari yang dipimpin keluarga dan kerabat Asrun. Asrun juga mempunyai hubungan ipar dan besan dengan bupati di dua kabupaten di Sultra.
”Jika tak diputus, dinasti ini akan berbahaya karena membuka celah korupsi,” kata Eka, Kamis (1/3) di Kendari.
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Adriatma dan Asrun pada Rabu lalu. Selain mereka berdua, KPK juga menangkap Hasmun yang merupakan Direktur PT Sarana Bangun Nusantara dan Fatmawati Faqih selaku mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Kendari.
Adriatma diduga menerima suap atau hadiah terkait sejumlah proyek di Kendari. Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, penerimaan uang itu diduga untuk membiayai kampanye Asrun sebagai calon gubernur Sultra.
”Penerimaan ini tidak hanya terjadi sekali mengingat kontraktor yang memberikan ini telah menjadi rekanan pemerintah daerah sejak 2012,” kata Basaria di Gedung KPK Jakarta, kemarin.
Namun, saat ini KPK baru menemukan satu proyek yang dimenangkan PT Sarana Bangun Nusantara yang dipimpin Hasmun, yaitu proyek Jalan Bungkutoko-Kendari New Port senilai Rp 60 miliar pada Januari 2018. Sementara itu, suap yang diterima keduanya sebesar Rp 2,8 miliar dan diduga sudah digunakan seusai transaksi. Pasalnya, penyidik hanya menyita kartu anjungan tunai mandiri dan surat tanda nomor kendaraan sebuah mobil yang sempat digunakan untuk membawa uang tersebut.
Persoalan dinasti politik, lanjut Basaria, tidak bisa dilepaskan dalam perkara ini. Apabila Asrun bukan ayah Adriatma, ia akan sulit mempengaruhi keputusan untuk memanfaatkan pihak swasta tersebut. Adriatma bertindak atas pengaruh dari ayahnya demi memperluas kekuasaannya dengan menjadi gubernur.
Tuntutan biaya politik yang tinggi juga berhubungan dengan permasalahan ini. ”Biaya kampanye, mahar, hingga biaya saksi. Sesuatu yang kita ketahui dan dengar, tetapi untuk membuktikannya cukup sulit,” tuturnya.
Pembawaan diri
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, praktik koruptif yang dilakukan sejumlah kepala daerah lebih disebabkan karena pembawaan diri mereka. Ia juga berpendapat, penangkapan sejumlah pejabat daerah beserta keluarganya yang juga pejabat setempat tidak lantas menunjukkan bahwa dinasti politik itu tidak baik. Di daerah tertentu, ada dinasti politik berjalan dengan baik.
”Jangan dilihat masalah dinastinya. Ini, kan, kasus per kasus. Tidak semua dinasti itu jelek. Sekarang yang penting bagaimana seluruh aparatur pemerintahan, termasuk diri saya, memahami area rawan korupsi, saling mengingatkan, dan hati-hati,” tutur Tjahjo.
Ia mengatakan, sistem yang dibangun saat ini sudah cukup baik untuk menghindarkan pejabat dari korupsi. Sebagai contoh, sistem pengadaan yang dilakukan secara daring sehingga dapat dipantau oleh publik. Namun, semua itu kembali pada pribadi pejabat itu sendiri.
”Sistemnya sudah baik. Tugas kita semua untuk mengingatkan. Sudah tak bisa mengimbau lagi, tapi mengingatkan,” tuturnya. (IAN/FRN/REN)