Perdamaian akan menyembuhkan luka di antara korban aksi teror dan mantan teroris yang telah insaf. Langkah membangun perdamaian ini harus terus diupayakan meski membutuhkan proses panjang yang memakan waktu karena dapat memutus rantai dendam, yang bisa menular antargenerasi, dan radikalisme.
Hal itu menjadi pesan yang disampaikan dalam bedah buku berjudul La Tay’as (Jangan Putus Asa) Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya karya Hasibullah Satrawi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Kamis (1/3). Hasibullah adalah Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), organisasi nonpemerintah yang aktif mendorong perlindungan terhadap korban aksi teror dan rekonsiliasi.
Peluncuran buku itu dihadiri Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, KH Abdul A’la, pengamat terorisme Universitas Brawijaya Yusli Effendi, Direktur Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi, dan Hayati Eka Laksmi, istri korban Bom Bali I, Imawan Sardjono (almarhum).
Hasibullah mengatakan, perdamaian pelaku dengan korban terorisme adalah proses panjang yang harus terus diupayakan. Sebab, ada kalanya jalur hukum tidak menjadi pilihan.
”Bentuk kerja sama korban dan mantan pelaku adalah salah satu wujud perdamaian yang tidak bisa dilihat hasilnya saat ini saja. Butuh waktu panjang, pendampingan, dan cara yang tidak tergesa-gesa. Namun, jika proses itu berhasil, perdamaian sejati akan terwujud. Meski entah itu kapan,” kata Hasibullah.
Saat ini, Aida menjadi wadah 27 korban dan keluarganya serta empat mantan teroris. Mereka kini bekerja sama menyebarkan dan menyerukan semangat perdamaian.
Dalam kesempatan itu, baik Ali Fauzi maupun Hayati menuturkan proses panjang mereka hingga akhirnya bisa bekerja sama melawan terorisme. Hayati butuh waktu 15 tahun sebelum bisa memaafkan Ali Fauzi. Hayati kehilangan suaminya, Imawan Sardjono, setelah mobilnya terdampak ledakan bom mobil yang dipicu Amrozi dan kawan-kawan di sekitar Pantai Kuta.
Selain kerja sama dan kerelaan keluarga korban memaafkan mantan teroris, peranan generasi muda pun penting untuk merawat perdamaian. Abdul A’la mengatakan, semua manusia pernah melakukan dosa. Namun, sebaik-baiknya manusia adalah yang diberi kesempatan melakukan pertobatan. ”Bagaimana mengubah dendam jadi pemaafan, mengubah trauma jadi pertobatan, itu juga menunggu tangan dan pikiran cerdas mahasiswa,” tuturnya.
Keterbukaan
Adapun Ali Fauzi, mantan ahli merakit bom Al Qaeda, mengatakan, proses metamorfosisnya meninggalkan terorisme tidak tiba-tiba. Dia membutuhkan waktu panjang, dimulai dengan penerimaan keluarga, aparat penegak hukum, hingga keterbukaan tetangga yang kemudian membawanya belajar pendidikan agama yang moderat.
”Klimaks dari itu semua adalah saya bertemu dengan korban dan keluarga korban bom. Saya menyaksikan dampaknya dan mendengar penderitaan mereka. Namun, mereka masih mampu memaafkan saya. Saya menangis berjam-jam dan saya akhirnya membulatkan tekad berjuang menyerukan perdamaian. Mereka adalah pahlawan-pahlawan baru yang membuat saya bermetamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu,” kata Ali Fauzi.
Hayati mengaku tidak mudah memaafkan dan menghilangkan dendam. Awalnya, anak Hayati sangat dendam terhadap pembunuh ayahnya. Namun, lambat laun, anaknya bisa memaafkan dan meneruskan hidup.
”Dengan memaafkan, alhamdulillah saya dan keluarga lebih ringan menjalani hidup. Kini, saya bisa bekerja sama dengan mereka yang dulu melukai keluarga saya. Kami sama-sama bertekad menghentikan aksi teror serupa agar tidak ada lagi korban seperti kami,” katanya. (DIA)