Lima bulan menuju pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2019 yang akan dibuka Agustus 2018, wacana pembentukan poros ketiga di luar koalisi pendukung Joko Widodo dan koalisi Prabowo Subianto berembus dari Cikeas. Opsi yang sekilas riskan dan penuh pertaruhan, tetapi juga bisa jadi investasi politik jangka panjang bagi Partai Demokrat jika berhasil diwujudkan.
Bagaimana tak riskan. Untuk membentuk poros baru, dibutuhkan figur kuat sebagai calon presiden. Sementara berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, elektabilitas Jokowi dan Prabowo terhitung masih yang tertinggi.
Survei Poltracking, Februari 2018, misalnya, menunjukkan elektabilitas Jokowi ada di urutan pertama dengan 55,9 persen. Prabowo ada di posisi kedua dengan elektabilitas 27 persen.
Dari 10 partai yang memiliki kursi di DPR, tiga partai belum menentukan sikap, yaitu Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Jika digabung, tiga partai itu bisa mengusung capres-cawapres karena mereka memiliki 157 atau 28,04 persen dari kursi DPR yang berjumlah 560.
Belakangan ini Demokrat dan PAN mulai mengembuskan wacana membentuk poros ketiga. Namun, PKB belum menunjukkan sinyal untuk mengikutinya.
Sebagai partai dengan kursi lebih besar daripada PAN dan PKB, Demokrat bisa jadi pemegang saham terbesar jika poros ketiga itu terbentuk. Dalam berbagai kesempatan, Demokrat gencar menggaungkan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai capres atau cawapres dari partai itu. Belakangan ini Agus juga gencar melakukan safari politik.
Sebagai sosok capres atau cawapres, elektabilitas Agus memang terhitung tinggi daripada figur alternatif lain. Dalam survei Poltracking Februari lalu, Agus menempati peringkat pertama cawapres dari Jokowi dengan elektabilitas 14,3 persen. Namun, sebagai capres, mengacu pada survei Indo Barometer, Januari lalu, elektabilitas Agus masih di angka 2,5 persen.
Risiko
Sekilas, opsi membentuk poros ketiga memang riskan dan penuh pertaruhan. Hal itu diungkapkan Saiful Mujani dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Senin (5/3). Ia mengatakan, dalam politik, orientasinya kans menang atau kalah. Terkait hal itu, jika hingga pendaftaran capres-cawapres pada Agustus mendatang tidak ada figur capres yang elektabilitasnya mampu menandingi Jokowi dan Prabowo, pembentukan poros ketiga sangat riskan dan bisa berujung wacana. ”Partai cenderung akan merapat pada siapa yang berpeluang menang lebih besar,” katanya.
Juga hadir sebagai narasumber dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah, dan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria,
Namun, Hinca Panjaitan tetap optimistis. ”Kalau ditanya apakah Demokrat punya calon, kami siap. Di pilkada, dari 17 provinsi, 14 calon gubernur kader sendiri. Di pilpres, tinggal cari dua tiga partai lagi untuk memenuhi syarat presidential threshold 20 persen,” katanya.
Potensi munculnya tiga pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2019 disambut baik kubu Jokowi dan Prabowo. ”Yang penting pemilu lancar dan tidak memunculkan calon pemimpin yang memakai cara-cara tidak baik,” kata Ahmad Basarah.
Riza Patria mengatakan, partainya sejak awal memang mendorong banyak pasangan calon pada Pilpres 2019. ”Sekalipun suara ke Pak Prabowo bisa pecah, tidak masalah. Dulu kami sampai walk out di Rapat Paripurna DPR karena minta syarat pencapresan 0 persen supaya demokrasi diberi ruang,” ujarnya.
Investasi
Pembentukan poros ketiga pada Pemilu 2019 akhirnya dapat dilihat sebagai bentuk investasi politik Partai Demokrat. Demokrat berkepentingan memajukan Agus Yudhoyono ke kancah politik nasional untuk mempersiapkan jalan bagi pertarungan sesungguhnya pada Pemilu 2024.
Terkait hal itu, kemunculan Agus Yudhoyono pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dilihat sebagai langkah awal Demokrat mempersiapkan jalan untuk Pemilu 2024. Meski kalah di Pilgub DKI Jakarta, kini nama Agus menempati posisi tiga teratas sebagai figur cawapres potensial pada Pemilu 2019.
Jika Demokrat mampu menggaet PAN dan PKB untuk berkoalisi mengusung capres ketiga, peta politik seperti Pilgub DKI Jakarta 2017 akan terulang. Keputusan politik para elite yang berpusat di Teuku Umar (Megawati Soekarnoputri), Hambalang (Prabowo Subianto), dan Cikeas (Susilo Bambang Yudhoyono) akan kembali jadi penentu dinamika sosial-politik bangsa.
Akhirnya, dua atau tiga capres, ada poros ketiga atau tidak, tanggung jawab partai adalah menyediakan calon pemimpin yang terbaik untuk rakyatnya. ”Ibarat makan nasi, jika supplier memberi beras buruk, masyarakat tak punya pilihan lain kecuali makan nasi buruk itu,” kata Saiful Mujani. (Agnes Theodora)