JAKARTA, KOMPAS - Uang suap yang diterima Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Adriatma Dwi Putra diduga akan dibagikan ke masyarakat dalam rangka kampanye ayahnya, Asrun, yang menjadi calon gubernur Sulawesi Tenggara. Terkait dengan hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong penyelenggara pemilu serius mengawasi sumber pendanaan kampanye calon dalam pemilihan kepala daerah.
Uang senilai hampir Rp 2,8 miliar itu disita tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 7 Maret di rumah I, salah seorang kenalan Adriatma di Kendari. Uang disimpan di satu kardus dalam bentuk pecahan Rp 50.000.
”Dari awal komunikasi ada permintaan uang dalam bentuk pecahan Rp 50.000. Prediksi penyidik, uang tersebut untuk dibagikan kepada masyarakat,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/3).
Adriatma dan Asrun ditangkap KPK pada 28 Februari lalu karena diduga menerima suap. Saat itu, KPK juga menangkap Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun serta mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Kendari Fatmawati Faqih.
Suap yang diduga diterima Adriatma merupakan ”hadiah” terkait dengan proyek di Kota Kendari. Hasmun sudah memenangi beberapa kontrak proyek sejak 2012 semasa Asrun masih menjabat sebagai wali kota.
Asrun sempat menjabat wali kota Kendari selama dua periode, yakni tahun 2007-2017. Asrun lalu diganti oleh putranya, Adriatma. Pada Pilkada 2018, Asrun mencalonkan diri sebagai gubernur Sulawesi Tenggara menggandeng Hugua, mantan Bupati Wakatobi, sebagai wakilnya.
Menurut Basaria, uang suap dari pengusaha untuk Adriatma itu sempat berpindah-pindah tempat dan berpindah tangan. Uang senilai Rp 1,5 miliar ditarik dari salah satu bank swasta di Kendari oleh anak buah Hasmun, lalu dibawa ke salah satu kantor Hasmun untuk ditambah uang tunai Rp 1,3 miliar. Pada 26 Februari malam, uang itu diserahkan kepada salah satu orang suruhan Adriatma yang sudah menunggu di sebuah lapangan. Uang lalu dititipkan di rumah I, kenalan Adriatma. Atas informasi dari masyarakat, tim KPK menyita uang itu.
Dari sejumlah kasus yang diungkap KPK, terlihat bahwa penggunaan uang suap untuk kepentingan politik elektoral, termasuk kampanye, bukan sekali ini saja terjadi. KPK sudah menangkap tangan empat calon kepala daerah petahana pada pilkada serentak 2018 yang diduga terlibat kasus suap.
KPK berharap penyelenggara pemilu memahami adanya dugaan uang suap yang diterima calon kepala daerah untuk mendanai kampanye
Terkait dengan hal ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK berharap penyelenggara pemilu memahami adanya dugaan uang suap yang diterima calon kepala daerah untuk mendanai kampanye. Oleh karena itu, diharapkan ada audit yang substansial terhadap pelaporan dana kampanye.
Pencucian uang
Kemarin, KPK juga mengumumkan telah menetapkan Muchtar Effendi sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang. Ini berarti Muchtar sudah tiga kali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sebelumnya, ia jadi tersangka kasus merintangi penyidikan dan memberikan keterangan tidak benar pada persidangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Tahun 2016, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis lima tahun penjara serta denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.
Selain itu, Muchtar juga menjadi tersangka menerima hadiah atau janji bersama-sama dengan Akil Mochtar terkait dengan upaya memengaruhi putusan perkara perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di MK. Kasus ini masih disidik KPK.
Terkait dengan penetapan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, Muchtar menerima uang Rp 35 miliar dari suap atas dua perkara perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di MK.