Segala Hal Bisa Terjadi
Pemilihan gubernur Jawa Tengah digelar sekitar 3,5 bulan lagi. Masih cukup waktu untuk lebih mendongkrak popularitas dan elektabilitas calon jika berkaca pada dua fenomena perebutan kekuasaan yang terjadi pada tahun lalu, baik di level lokal maupun internasional.
Pilkada DKI Jakarta dan pemilu presiden Amerika Serikat menunjukkan, peluang yang tadinya sempit bisa diperlebar untuk akhirnya memenangi kekuasaan. Di Jakarta, isu agama dan etnis menjadi wacana yang mengemuka, meruntuhkan elektabilitas petahana yang tadinya punya peluang besar. Di Amerika, sentimen penduduk asli dan pendatang diperlebar sehingga mampu menggulung tingginya popularitas calon lain, bahkan mengguncang ideologi pluralisme yang tadinya hegemonik.
Di Pilkada Jateng, adakah potensi yang dapat dimanfaatkan kedua pasang calon yang berkontestasi untuk jadi peluang yang lebih besar guna mencapai kemenangan?
Elektabilitas kandidat
Pilkada Jateng menghadirkan dua pasang kandidat. Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin diusung oleh koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golkar. Pasangan ini akan menghadapi calon dari koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung Sudirman Said dan Ida Fauziah.
Hasil survei Litbang Kompas pada akhir Februari-awal Maret memperlihatkan jauhnya jarak popularitas dan keterpilihan antara dua pasang calon yang akan berkontestasi dalam Pilkada Jateng tersebut. Dalam survei penjajakan yang dilakukan dengan simulasi pencoblosan, Ganjar-Yasin memperoleh 79 persen suara, Sudirman-Ida memperoleh 11,8 persen suara, dan sebanyak 9,2 persen belum menentukan pilihan. Sementara melalui pertanyaan terbuka (wawancara), Ganjar-Yasin memperoleh 50,8 persen suara, Sudirman-Ida memperoleh 7,4 persen suara, dan sebanyak 41,8 persen belum menentukan pilihan.
Jika ditelisik lebih jauh, mereka yang belum menentukan pilihan pada pertanyaan terbuka sebesar 69,6 persen cenderung memilih Ganjar-Yasin pada jawaban simulasi dan 11,6 persen memilih Sudirman-Ida.
Persoalan popularitas tampaknya jadi problem pertama, seusai penetapan calon oleh KPU hingga dua-empat minggu setelahnya, yang membuat petahana cenderung lebih banyak dipilih. Dari aspek popularitas, Ganjar memang menempati posisi puncak sebagai figur paling dikenal. Lewat simulasi gambar, ia dikenali dan disebut namanya oleh 78,4 persen responden, sedangkan Sudirman dikenali 26 persen responden. Demikian juga pasangan masing-masing, Yasin dikenal oleh 16,3 persen, sementara Ida oleh 12,4 persen responden.
Hasil survei juga menunjukkan eratnya popularitas pasangan dengan pilihan masyarakat. Mereka yang ingatan pertamanya (top of mind) menyebut pasangan Ganjar-Yasin sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, sebanyak 83,4 persen berencana memilih pasangan itu. Demikian juga pada Sudirman-Ida, mereka yang menyebut pasangan ini sebagai top of mind, sebanyak 62,5 persen akan memilihnya.
Memperlebar peluang
Dukungan terhadap Ganjar- Yasin jika dipetakan berasal dari hampir semua lini demografis. Artinya, pasangan ini menang dari berbagai aspek dukungan, seperti dari kategori agama, etnis, pendidikan, kelas sosial, dan partai. Nyaris tak ada celah demografis yang dimenangi pasangan Sudirman-Ida.
Lalu, di mana potensi bagi pasangan Sudirman-Ida untuk memperlebar peluang menjaring popularitas?
Pertama, dari aspek geografis, kekuatan Sudirman-Ida hanya tampak di Brebes dan Semarang meskipun tidak dominan. Brebes merupakan tempat kelahiran Sudirman. Untuk memperluas penetrasi, selain memaksimalkan dukungan di dua wilayah itu, mereka juga mesti merebut simpati di wilayah lain. Pasangan ini masih lemah di Jateng bagian timur, seperti Sragen, Surakarta, Boyolali, Grobogan, dan Wonogiri. Kemudian di Jateng bagian tengah yang meliputi Banyumas, Purbalingga, dan Kebumen. Kondisi ini berkebalikan dengan penguasaan Ganjar-Yasin yang merata di semua wilayah.
Kedua, dari aspek status sosial ekonomi, pemilih Sudirman-Ida lebih menonjol di kelompok sosial berpendidikan tinggi. Guna mendekati kalangan berpendidikan menengah dan rendah, yang sejauh ini solid mendukung Ganjar-Yasin, diperlukan strategi komunikasi yang lebih lugas. Sudirman-Ida juga perlu mendekati kaum ibu rumah tangga yang kini dimonopoli (82,1 persen) pasangan Ganjar-Yasin.
Ketiga, dari aspek agama. Kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebetulnya pasar politik terbesar bagi Sudirman-Ida. Ida merupakan kader PKB, partai yang lekat dengan NU. Sementara koalisi pengusung Sudirman-Ida selain PKB, juga terdapat PAN yang memiliki basis massa kalangan Muhammadiyah. Namun, sejauh ini, penguasaan atas sumber dukungan dari dua aliran keagamaan itu dipegang Ganjar-Yasin. Yasin tampaknya mampu membuat kalangan NU untuk tidak berpindah ke Sudirman-Ida. Yasin adalah putra ulama NU karismatik asal Sarang, Rembang, KH Maimoen Zubair.
Keempat, aspek modal partai yang dimiliki Sudirman-Ida. Dengan dukungan koalisi partainya, pasangan ini punya aset suara 37,4 persen yang diperoleh empat partai pengusungnya pada Pemilu 2014. Sayangnya, dukungan dari simpatisan partai pengusungnya itu hingga kini masih terlalu kecil. Massa PKB hanya 15,8 persen yang memilih Sudirman-Ida, hampir sama dengan dukungan massa Gerindra yang 15,4 persen. Dukungan paling besar berasal dari pemilih PKS (30,8 persen) dan PAN (24 persen). Sejauh ini, dukungan massa dari semua partai lebih banyak ke Ganjar-Yasin.
Kelima, aspek nilai jual karakter dan pengalaman. Sebagai penantang untuk jabatan gubernur, sebetulnya Sudirman punya sejumlah kekuatan. Predikat mantan Menteri ESDM yang disandangnya jadi modal yang cukup tinggi untuk berkontestasi di level daerah. Terlebih karakternya juga dinilai jujur atau bersih dari korupsi. Karakter itu merupakan modal paling menonjol yang dinilai publik (20,3 persen) dibanding sisi-sisi lainnya.
Sebagai seni meraih peluang, politik di Jateng akan jauh lebih menguras strategi pasangan Sudirman-Ida dibanding Ganjar- Yasin. Namun, waktu 3,5 bulan ke depan akan memperlihatkan garis finis jadi milik penantang atau petahana. Sejumlah kemungkinan tetap terbuka. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)