Di Tengah Pusaran Pertarungan Elite
Nasionalisme yang berkembang saat ini dinilai parsial karena tak mengandung semangat internasionalisme yang diusung Bung Karno. Pada tahun 1950-an, Bung Karno dianggap dunia sebagai tokoh penting di balik gerakan solidaritas negara-negara Dunia Ketiga.
Sentimen nasionalisme di Indonesia menguat pada Pemilu 2014. Dua calon presiden yang bertarung, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama mengklaim sebagai ”ahli waris” nasionalisme Soekarno, presiden pertama Indonesia. Mereka menggunakan slogan nasionalis saat kampanye. Namun, pemahaman nasionalisme kedua calon presiden saat itu dinilai parsial karena tak menyertakan kandungan semangat internasionalisme yang diusung Bung Karno. Pada tahun 1950-an, Bung Karno dianggap dunia internasional sebagai tokoh penting di balik gerakan solidaritas negara-negara Dunia Ketiga.
Dari sisi ekonomi, pergeseran ciri-ciri kebijakan pemerintah, yakni dari kebijakan pro-pasar menjadi kebijakan yang lebih nasionalis, bahkan berlangsung lebih awal, yakni sejak krisis keuangan global 2008. Salah satu indikator pergeseran itu ialah meningkatnya kebijakan proteksionis, terutama berkaitan dengan penanaman modal dan perdagangan.
Penguatan nasionalisme juga terlihat dari kebijakan pemerintah dalam hubungan dengan negara lain. Pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, eksekusi mati terhadap warga negara asing meningkat, pemerintah juga banyak menenggelamkan kapal asing dari negara tetangga yang mencuri ikan di Indonesia. Hal itu dilakukan atas nama nasionalisme. Pada saat yang sama, di tengah masyarakat kembali ”riuh” narasi antagonistik pribumi dan nonpribumi.
Nasionalisme akan selalu hadir sepanjang negara bangsa ada karena berperan membangun solidaritas serta menentukan siapa yang menjadi bagian dan siapa yang bukan menjadi bagian bangsa. Namun, belakangan ada kecenderungan nasionalisme justru didefinisikan para elite, termasuk negara.
Padahal, seharusnya kontestasi terhadap makna nasionalisme berlangsung terbuka untuk mengakomodasi kepentingan publik yang kian beragam agar nasionalisme menjadi inklusif. Di era demokrasi modern, idealnya narasi nasionalisme tidak lagi banyak diproduksi negara, tetapi diproduksi masyarakat melalui produk dan aktivitas kebudayaan, seperti novel atau film.
Elite dan masyarakat
Penguatan narasi nasionalisme yang eksklusif merupakan proses yang bersambut dari elite dan akar rumput. Dari sisi elite, narasi nasionalisme, pada skala tertentu, dibangun pemerintah untuk menghadapi kritik dari kekuatan koalisi yang menggunakan narasi nasionalisme berbasis keagamaan.
Nasionalisme-nasionalis ataupun nasionalisme-agama juga sama-sama berciri kuatnya nilai komunal yang berdampak pada pengorbanan hak-hak individual. Selain itu, nasionalisme sempit berbasis pada totalisme negara, bukan hak individu, dapat membuka ruang lebar berkembangnya kekuatan konservatif lama yang memundurkan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini, misalnya, terlihat dari upaya elite politik di pemerintahan untuk kembali mendorong penerapan delik umum pada pasal penghinaan terhadap kepala negara, pengendalian ormas, serta pelibatan militer dalam kehidupan sipil. Kondisi itu berpotensi membuat politik demokrasi Indonesia stagnan.
Dalam konteks hubungan dengan negara lain, sudah muncul upaya pemerintah memoderasi wacana nasionalisme guna memastikan program ekonomi berjalan. Hukuman mati warga negara asing berkurang. Wacana Indonesia menghadapi ancaman proxy war dari kekuatan asing menyurut. Namun, hal ini juga diperkirakan tidak permanen.
Upaya moderasi ini akan menghadapi tekanan luar biasa pada tahun politik, menjelang Pemilu 2019. Pada akhirnya, hal itu berpotensi memaksa pemerintah yang berkuasa merespons dengan melontarkan lagi kebijakan-kebijakan bercorak nasionalisme yang kuat.
Kelas menengah
Di tingkat akar rumput, kelas menengah mengalami dislokasi sosial sehingga merasa tidak menjadi bagian dari satu komunitas. Namun, Indonesia bukan kasus khas. Globalisasi neoliberal sudah menimbulkan persoalan struktural berupa kesenjangan sosial ekonomi begitu lebar di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Bank Dunia tahun 2016, sebanyak 1 persen populasi memiliki kekayaan lebih besar daripada akumulasi kekayaan 50 persen warga termiskin.
Selain itu, kebijakan neoliberal yang mendorong privatisasi sektor pendidikan, perumahan, dan kesehatan menimbulkan kecemasan dan kegamangan kelas menengah akan masa depan. Di tengah kecemasan itu, mayoritas kelas menengah akan berpegang pada apa pun yang bisa mereka gunakan untuk bertahan. Aspirasi keagamaan dan aspirasi nasionalisme dinilai bisa membangun solidaritas karena mengonstruksi persamaan dengan mereka yang punya kesamaan agama atau sama-sama percaya pada kebinekaan.
Kondisi ini membuat masyarakat rentan dimanfaatkan elite. Pertemuan antara elite pragmatis dan kelas menengah yang gamang itu seolah memunculkan pertarungan antara kelompok nasionalis dan kelompok agama. Padahal, pertarungan sebenarnya berlangsung di antara kelompok-kelompok elite yang menggunakan simbol-simbol, baik nasionalis maupun keagamaan, sesuai kepentingannya. Tidak jarang, elite yang sama bisa menggunakan simbol agama dan nasionalis pada kesempatan berbeda.
Tidak ada solusi jangka pendek untuk mengatasi persoalan tersebut. Satu-satunya solusi ialah pemerintah harus fokus pada upaya mengatasi kesenjangan sosial ekonomi. Penyebaran narasi nasionalisme-nasionalis untuk mengatasi menguatnya narasi nasionalisme-agama tidak menyelesaikan inti persoalan, bahkan mengaburkan persoalan kesenjangan. Di tengah kontestasi dua narasi itu, aspirasi kaum miskin, korban terparah dari kesenjangan sosial ekonomi, akhirnya tidak mendapat tempat dalam diskursus politik di ruang publik.
Kondisi ini juga tidak kondusif bagi tumbuhnya nasionalisme yang progresif, inklusif, serta memperhatikan hak asasi. Sebab, kesenjangan membuat seseorang tidak betul-betul secara organik merasa menjadi bagian dari satu komunitas.