Ujian Loyalitas Partai Kader
Indikasi lemahnya loyalitas kepartaian pada partai-partai yang selama ini punya pengaruh kuat di Jawa Barat dibandingkan dengan kekuatan sosok calon kepala daerah yang kini berkontestasi tersimpulkan dari survei periode pertama pra-pilkada yang dilakukan Litbang Kompas, 19 Februari-4 Maret 2018.
Kondisi demikian dipandang ironis. Pasalnya, dalam sejarah kontestasi politik di Jabar, kekuatan partai politik (parpol), khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tergolong dominan. Pada Pemilu 2014, misalnya, PDI-P jadi pemenang di Jabar dengan meraih sekitar 4,1 juta suara (19,6 persen). Ini membuat parpol itu memperoleh 20 dari 100 kursi DPRD Jabar. Di Pilkada Jabar 2013, PDI-P yang mengusung pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki mampu menggalang hingga 5,7 juta pemilih (28,1 persen).
Sekalipun gagal meraih kursi gubernur, hanya bertengger di posisi ke-2, Rieke-Teten mampu mengikat suara pemilih di daerah yang dikenal sebagai kantong suara PDI-P, seperti Karawang, Cirebon, Kuningan, Sumedang, dan Bandung Raya.
Namun, kali ini bisa jadi berbeda. Pilkada 2018 jadi ancaman serius bagi pasangan yang diusung PDI-P. Hasil survei menunjukkan, tingkat keterpilihan TB Hasanuddin-Anton Charliyan tergolong rendah. Dua model indikator yang digunakan Kompas dalam menjaring pilihan responden, baik berupa pertanyaan bersifat langsung maupun simulasi surat suara yang bersifat tertutup, konsisten menempatkan pasangan yang diusung PDI-P tersebut dalam posisi terbawah.
Persoalan keterkenalan jadi kendala pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan. Sosok TB Hasanuddin, purnawirawan militer berbintang dua kelahiran Majalengka yang malang melintang dalam politik bersama PDI-P, belum banyak dikenal. Begitu pula Anton Charliyan, kelahiran Tasikmalaya yang pernah jadi Kepala Polda Jabar. Keduanya dikenal tak lebih dari 15 persen pemilih.
Persoalan yang agak mirip dihadapi PKS. Satu dasawarsa terakhir, Jabar jadi basis kekuatan partai yang ditopang oleh loyalitas kader-kadernya itu. Kiprah PKS yang mengantarkan kadernya, Ahmad Heryawan (bersama Dede Yusuf), sebagai gubernur dalam Pilkada 2008 menjadi bukti. Tidak kurang dari 7,2 juta suara (40,5 persen) saat itu diraih Heryawan, sosok yang kala itu relatif kurang populer di Jabar.
Begitu pula pada Pilkada 2013. Ahmad Heryawan kembali menjadi pemenang. Bersama Deddy Mizwar, wakilnya, ia mendapat sekitar 6,5 juta suara (32,4 persen). Di dua pilkada tersebut, soliditas pemilih PKS jadi kunci kemenangan.
Namun, kondisi agak berbeda terjadi saat ini. Loyalitas simpatisan parpol belum sebangun dengan sosok yang dirujuk parpol. Bersama-sama PAN dan Gerindra, PKS mengusung Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Gerindra merupakan parpol tiga besar Pemilu 2014 di Jabar. Partai ini juga menjadikan Jabar sebagai basis terbesar pendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2014. Artinya, dengan kekuatan Gerindra dan PAN, Jabar idealnya berpotensi menjadi wilayah penguasaan mereka.
Akan tetapi, hasil survei menunjukkan keterpilihan Sudrajat-Ahmad Syaikhu masih rendah. Dengan memakai model pertanyaan terbuka, pasangan ini hanya diminati 4,5 persen responden. Jika menggunakan model simulasi kertas suara tertutup, jadi sekitar 7,8 persen. Perbedaan kedua model itu tidak tergolong signifikan dan tetap menempatkan pasangan ini dalam barisan bawah.
Jika ditelusuri, seperti juga yang terjadi pada PDI-P, pada wilayah yang menjadi basis kemenangan PKS, loyalitas pendukung belum tampak. Wilayah Bogor, Depok, Sukabumi, dan bahkan Bekasi di mana Ahmad Syaikhu menjadi wakil wali kota, loyalitas pemilih PKS terhadap calon yang didukung partai itu belum terlihat optimal.
Seperti halnya TB Hasanuddin-Anton Charliyan, sosok pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu juga belum banyak dikenal masyarakat Jabar.
Kemenangan
Capaian sementara yang kurang signifikan dari kedua pasangan utusan parpol dengan kekuatan politik di Jabar itu mengundang pertanyaan, ke mana arah pilihan politik para pemilih pada pilkada kali ini?
Sejatinya, hingga saat ini persaingan penguasaan suara pemilih Pilkada Jabar terjadi antara pasangan Deddy Mizwar- Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. Hasil survei menunjukkan, kedua pasangan kini dalam posisi yang cenderung sama kuat. Pada model pertanyaan survei yang bersifat terbuka, misalnya, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul mampu meraih 27,6 persen dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi 24,3 persen. Pada model ini terdapat 21 persen responden yang tidak bersedia menjawab (rahasia) dan 20,7 persen menyatakan belum menentukan pilihan.
Di sisi lain, dengan menggunakan model simulasi surat suara tertutup, Deddy Mizwar- Dedi Mulyadi dipilih 42,8 persen, sedangkan Ridwan Kamil- Uu Ruzhanul 39,9 persen. Pada model simulasi tertutup yang memberikan kebebasan pilihan sepenuhnya kepada responden, masih ada sekitar 6,5 persen responden yang tetap tak memberikan pilihan.
Menariknya, sekalipun terlihat imbang, apabila ditelusuri lebih jauh terdapat kecenderungan arus pilihan yang berbeda pada kedua model indikator. Khusus pada kelompok pemilih yang menjawab ”rahasia” atau ”belum menentukan pilihan”, pada saat menggunakan model simulasi surat suara tertutup cenderung lebih banyak menjatuhkan pilihan kepada Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dibandingkan dengan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul atau ke dua pasangan lain. Kondisi ini cenderung menguntungkan posisi Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Akan tetapi, jika ditelusuri berdasarkan kadar loyalitas dari pemilih setiap pasangan, pemilih Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul tergolong solid. Hanya sekitar 9 persen dari responden pemilih pasangan itu yang punya kecenderungan berpindah pilihan. Mayoritas konsisten pada pilihannya dan terindikasi sebagai strong voter. Pada pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, sebanyak 11 persen berkecenderungan pindah dukungan.
Pemilih yang berpotensi beralih, bagian terbesar justru tertuju pada pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul. Bagi pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, potensi peralihan suara itu juga memperbesar peluang yang secara signifikan mampu mengantarkan pasangan ini menjadi pemenang pilkada.
Beruntung bagi kedua pasangan ini, di tengah ketatnya persaingan, dukungan para simpatisan parpol pendukung tampak semakin solid. Koalisi Demokrat dan Golkar yang mengusung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi tampak sejalan dengan dukungan para simpatisan kedua parpol. Setidaknya 52,9 persen pemilih kedua partai tersebut menyatakan memilih Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Begitu pula simpatisan Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura, hampir dua pertiga di antaranya menyatakan memilih Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul yang diusung empat parpol itu.
Keuntungan semacam itu belum berpihak pada pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan yang diusung PDI-P serta Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN. Namun, posisi bawah pada saat ini belum berarti titik akhir dari pertarungan. Terlebih, sejarah pemilu di Jabar selalu membuktikan bagaimana partai-partai berbasis kader, seperti PKS dan PDI-P, mampu berjaya kendati awalnya dipandang sebelah mata.
Bagi pasangan ini, persoalan tingkat popularitas sosok yang masih rendah jelas butuh dukungan masif dari parpol pengusung dan para kadernya. Tampaknya, cara itu satu-satunya peluang bagi peningkatan keterpilihan mereka, sekaligus membuktikan sejarah kejayaan partai kader yang berulang di Jabar.
(Bestian Nainggolan/ Litbang Kompas)