JAKARTA, KOMPAS – Pola penerimaan suap yang dilakukan hakim harus dihentikan dengan memotong rantai kolusi antara panitera pengganti dan hakim yang menangani perkara. Mahkamah Agung tidak cukup hanya membuat regulasi dan ketentuan yang bersifat punitif dan ancaman untuk menghentikan suap yang terjadi di kalangan hakim.
Selama ini, pola rekrutmen serta sistem promosi dan mutasi panitera serta panitera pengganti (PP) kerap luput dari perhatian badan peradilan tertinggi tersebut. Akibatnya, tidak jarang seorang PP bisa bertugas di satu pengadilan dalam waktu yang lama, bahkan puluhan tahun, sehingga berpotensi menciptakan jaringan mafia peradilan dengan kelompk advokat hitam maupun hakim-hakim nakal di lingkungan pengadilan tempatnya bekerja.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Lisa Farihah, Kamis (15/3) di Jakarta mengungkapkan, PP kerap menjadi perpanjangan tangan dari hakim untuk menerima suap. Hal itu sudah terbukti melalui berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim dan PP. Beberapa dari PP yang ditangkap mengaku uang yang diterimanya dari advokat atau pihak berperkara ditujukan untuk hakim guna memengaruhi putusan.
"Tidak ada satu obat yang bisa menyelesaikan persoalan suap di kalangan hakim. Namun, ada baiknya juga MA memperbaiki mekanisme perekrutan panitera serta mempertimbangan rotasi, promosi, dan mutasi di kalangan PP. Dengan demikian, PP dan hakim itu tidak sempat menciptakan jaringan mafia peradilan atau berkolusi guna mendapatkan keuntungan pribadi dari jual-beli perkara,” kata Liza.
Tidak ada satu obat yang bisa menyelesaikan persoalan suap di kalangan hakim. Namun, ada baiknya juga MA memperbaiki mekanisme perekrutan panitera serta mempertimbangan rotasi, promosi, dan mutasi di kalangan PP. Dengan demikian, PP dan hakim itu tidak sempat menciptakan jaringan mafia peradilan atau berkolusi guna mendapatkan keuntungan pribadi dari jual-beli perkara
Posisi PP sebagai perantara penanganan perkara tidak terhindarkan sebab sesuai ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PP bertugas menjadi jembatan antara pencari keadilan dengan hakim. Pencari keadilan tidak bisa berhubungan langsung dengan hakim yang memeriksa perkara. Posisi PP yang menjadi jembatan ini menjadi peluang yang terbuka bagi mereka untuk menjadi perantara suap antara pencari keadilan atau advokatnya dengan hakim-hakim nakal.
Menurut Liza, bila promosi dan mutasi panitera dan PP diperhatikan, maka tidak ada lagi panitera yang bekerja hampir puluhan tahun di satu pengadilan. Rotasi dan mutasi kerja itu otomatis memotong jaringan mafia peradilan yang mungkin dibangun oleh mereka. Kolusi antara PP dengan advokat maupun hakim juga bisa diminimalisir.
Juru bicara MA Suhadi mengatakan, memotong rantai hubungan antara PP dengan hakim tidak mungkin dilakukan sebab KUHAP mengatur posisi PP yang menghubungkan antara pencari keadilan dengan hakim. “Upaya pelayanan satu pintu sudah diupayakan oleh MA, sehingga pencari keadilan atau advokat tidak bisa masuk ke ruang panitera dan PP. Namun, itu pun masih bisa ditembus oleh mereka yang menginginkan kemenangan, sehingga potensi suap itu masih saja terjadi,” katanya.
Diakui oleh Suhadi, MA saat ini baru bisa melakukan rotasi dan mutasi hakim secara berkala. Namun, khusus untuk panitera dan PP, hal itu sulit dilakukan mengingat ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. “Kalau kami memindahkan PP ke luar daerah, harus disiapkan tempat tinggalnya, dan dipikirkan pula nanti bagaimana sekolah anaknya. Kan tidak bisa begitu saja memindah orang,” katanya.