JAKARTA, KOMPAS - Gerakan dari akar rumput untuk mencegah sekaligus menjadi jembatan dalam penyelesaian konflik semakin dibutuhkan di tengah situasi masyarakat Indonesia yang kian kompleks. Indonesia memiliki potensi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan yang sulit diselesaikan karena ada ketidakadilan masa lalu sekaligus karena ada masyarakat yang belum siap dengan perbedaan.
Padahal, perbedaan merupakan sesuatu yang alami dan bisa menjadi kekuatan, bukan bencana. Keberagaman menjadi bencana jika tidak bisa dikelola, kemudian menimbulkan sengketa. Jika sengketa di tengah masyarakat tidak bisa diselesaikan, kemudian berpotensi menjadi konflik yang bisa bereskalasi menjadi ”perang”.
”Selama ini ada tiga reaksi terhadap konflik. Marah dan mengamuk, diam atau lari, serta mencoba menyelesaikan masalah. Sayangnya, di Indonesia, dua reaksi yang awal itu lebih dominan. Seharusnya yang diperbanyak reaksi yang menyelesaikan konflik,” kata Ichsan Malik, pengajar Program Studi Damai dan Resolusi Konflik Universitas Pertahanan Indonesia, saat diskusi bukunya, Resolusi Konflik: Jembatan Perbedaan”, di ruang perpustakaan harian Kompas, Jakarta, Kamis (22/3).
Diskusi tersebut juga menghadirkan peneliti studi agraria di Indonesia, Noer Fauzi Rachman, sebagai pembahas buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas itu.
Menurut Ichsan, diperlukan upaya untuk membuat masyarakat yang berada di tengah dan moderat semakin besar, bukan justru kian terdesak oleh masyarakat yang ”diam” atau mudah marah dalam merespons konflik. Untuk itu, diperlukan literasi media serta pendidikan kewargaan dan toleransi.
Hal tersebut menjadi penting karena momentum politik membuat masyarakat cenderung mudah tersulut konflik. Dia mengibaratkan konflik dengan kebakaran hutan, yang memiliki tiga syarat, yakni ada api, angin, dan rumput kering.
”Rumput sekarang sudah agak kering. Tinggal tunggu angin besar dan api. Pada momentum-momentum politik, angin dan api besar,” katanya.
Noer Fauzi juga mengingatkan, prasangka merupakan awal dari konflik. Perkembangan dunia digital saat ini cenderung menstimulasi prasangka. Di dunia maya, individu lebih mudah membedakan dan ”meminggirkan” orang lain. Mencegahnya juga tidak mudah karena saat ini tidak ada panduan tentang bagaimana menyikapinya.