Nyak Sandang, Salah Seorang Penyumbang Pesawat Pertama RI
Oleh
·4 menit baca
Di usianya yang kini 91 tahun, kulit-kulit Nyak Sandang, keuchik atau kepala Kampung Lheut Lamno, Aceh Jaya, salah seorang warga Aceh yang punya andil menyumbangkan harta kekayaan keluarganya untuk membeli dua pesawat pertama Indonesia, Seulawah RI-001 dan Seulawah RI-002, benar-benar sudah berkeriput. Matanya pun tak awas lagi lantaran katarak di mata sudah menghalangi pandangannya secara jelas. Demikian pula kesehatannya tak seprima saat di usia 23 tahun, ia bersama ayahnya menemui Presiden Soekarno yang datang pertama kalinya ke Tanah Rencong.
Tapi sosok itulah yang pernah sangat berjasa untuk bangsa ini. Ketulusannya bersama sejumlah warga Aceh lain, menyumbang Pemerintah RI di awal terbentuknya untuk membeli pesawat dan kini berwujud menjadi maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia, tidak lekang diterpa zaman.
Surat obligasi Pemerintah Indonesia tahun 1950 menjadi bukti Nyak Sandang sebagai salah seorang yang ikut menyumbangkan harta kekayaannya untuk membeli pesawat pertama Indonesia yang digunakan Presiden Soekarno untuk mewujudkan eksistensi negara baru mengonsolidasikan Indonesia yang tercerai-berai wilayahnya.
Tercatat dalam sejarah, pada masa awal kemerdekaan, 16 Juni 1948, Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh untuk mencari dana pembelian pesawat pertama RI. Dari pertemuan dengan sejumlah tokoh Aceh, Bung Karno membangkitkan semangat dan keinginan rakyat Aceh untuk turut membangun Indonesia.
Nyak Sandang bersama orangtuanya kemudian menjual sepetak tanah di kampungnya yang ditanam 40 batang pohon kelapa dan 10 gram emas. Hartanya waktu itu dihargai Rp 100 dan diserahkan kepada negara bersama sumbangan warga Aceh lainnya. Saat itu terkumpul 20 kilogram emas murni dan 120.000 dollar Singapura yang lalu dipakai untuk membeli pesawat jenis Dakota. Pesawat ini dinamakan Seulawah RI-001 dan Seulawah RI-002. Seulawah sendiri berarti gunung emas.
Awalnya, pesawat ini dioperasikan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan pernah mengangkut Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan dari Maguwo (Yogyakarta) ke Jambi, Payakumbuh, dan Kotaraja. Pada Desember 1948, pembukaan jalur penerbangan ke luar negeri melalui Sumatera dinilai sangat mendesak. Sebab, hubungan dengan negara-negara lain dinilai penting untuk menunjang perjuangan. Apalagi wilayah Indonesia saat itu dipisahkan oleh laut yang amat luas. Belanda pun terus mengganggu, di antaranya melalui Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Saat itu, sebagian besar pesawat AURI hancur akibat serangan udara. Satu-satunya pesawat angkut yang masih utuh adalah Dakota Seulawah RI-001 yang kebetulan sedang dalam perbaikan mesin di India.
Oleh karena itu, pada 1949, seperti tertulis dalam buku Awal Kedirgantaraan Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1949, Kepala Biro Rencana dan Konstruksi AURI Wiweko Supono dan Kepala Kantor Perwakilan RI Maryunani mendirikan perusahaan penerbangan Indonesian Airways. Seulawah pun kemudian dioperasikan Indonesian Airways di Myanmar mulai 26 Januari 1949. Kini Indonesian Airways sudah menjadi Garuda Indonesia, salah satu anggota Star Alliance, aliansi penerbangan global pertama dan terbesar.
Tak mencari balas jasa
Kalau Nyak Sandang, yang dikenal dengan panggilan Ayah Sandang, menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/3), tentu tak ada niatan untuk mencari balas jasa. Ditemani putranya, Maturidi, Nyak Sandang hanya menyampaikan tiga harapannya. Selain dapat dilakukan operasi katarak dan dibangun masjid di kampungnya di Lamno, Aceh, ia juga berharap dapat menunaikan ibadah haji.
Presiden Jokowi pun berjanji membantu merealisasikan harapan Nyak Sandang tersebut. Namun, khusus untuk naik haji, Presiden Jokowi terus terang harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Menteri Agama. ”Sementara umrah saja dulu, ya,” kata Presiden menawarkan Nyak Sandang.
Tampaknya, akibat kelelahan, seusai bertemu Presiden, Nyak Sandang jatuh sakit. Salah satunya, Nyak Sandang kesulitan buang air kecil. Presiden pun menginstruksikan supaya perawatan segera dilakukan. Nyak Sandang kini dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
Kepala RSPAD dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K)RI menjelaskan bahwa kondisi Nyak Sandang saat ini mulai membaik. Tim dokter kepresidenan, yang terdiri dari dokter spesialis mata, paru-paru, ginjal, urologi, jantung, dan spesialis penyakit dalam, sudah memeriksanya.
Di ranjangnya, Jumat (23/3), Nyak Sandang tetap bungah. Album foto saat dirinya diterima Presiden Jokowi di Istana Merdeka ditatap dan dipeluknya. Sejuta harapan tampak di mata.
Meski mata Nyak Sandang tak awas lagi untuk melihat, dari cerita Maturidi, Nyak Sandang dapat membayangkannya. ”Dia senang sekali. Saya pun sebagai keluarga merasa sangat senang,” ujar Maturidi, seperti ditulis siaran pers yang dikeluarkan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Sabtu (24/3).
”Masya Allah, saya senang sekali bisa bertemu Presiden. Kalau seandainya ada kesempatan untuk bertemu lagi, saya mau memeluknya,” ujar Nyak Sandang.