Kerukunan Berbekal Kearifan Lokal
Berdiri di pusat Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Pura Lingsar selama tujuh abad menjadi simbol kerukunan dan kedewasaan masyarakat Lombok dalam menyikapi perbedaan secara terbuka. Di tempat ini tidak hanya yang beragama Hindu, semua penganut agama dapat beribadah bersama dalam ketenangan, bebas dari sekat identitas dan prasangka buruk.
Suara azan salat Ashar menyelusup masuk ke setiap sudut Pura Lingsar, pertengahan Maret lalu. Dengan membungkukkan tubuh kecilnya yang ringkih, Jero Mangku Kerti Sejati (83) menyapu lembaran daun di Pura Gaduh, bagian dari kompleks Pura Lingsar yang biasanya digunakan umat Hindu untuk berdoa sehari-hari. Kegiatan bersih-bersih kompleks pura sudah ia lakukan selama tiga tahun terakhir ini sebagai pemangku pura.
Pada siang yang cerah itu, Jero baru kembali dari membersihkan Kemaliq Lingsar (tempat keramat). Berbeda dari Pura Gaduh, Kemaliq adalah bagian dari Kompleks Pura Lingsar yang biasanya digunakan oleh umat dari semua agama untuk sembahyang. ”Bersih-bersih di sana (Kemaliq) tidak boleh dilupakan. Puranya memang di sini, tetapi ibadah untuk sama-sama, ada di sana,” kata Jero menunjuk gerbang kecil menuju Kemaliq Lingsar.
Pura Lingsar dibangun pada 1714 oleh Raja Anak Agung Gede Ngurah dari Kerajaan Karangasem, Bali. Saat itu, agama Islam sudah lebih dulu masuk ke Lombok. Kehadiran pura menjadi pertanda kerukunan antar-agama dan suku di Lombok. Kompleks Pura terdiri dari dua bagian, yaitu Pura Gaduh, tempat ibadah khusus bagi umat Hindu, dan Kemaliq Lingsar. Kemaliq tidak hanya digunakan oleh umat Hindu, tetapi juga agama lain, seperti Islam, Kristen, dan Katolik, untuk sembahyang ritual.
Ketika sedang senggang, sehabis membersihkan kompleks pura, Jero biasanya mampir ke Kemaliq Lingsar untuk membasuh wajah, tangan, dan kaki di sembilan pancuran air. Sembilan pancuran itu merupakan simbol dari Wali Songo, penyebar agama Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya abad ke-14.
Di Kemaliq Lingsar, berbagai sesajen terletak di sebuah mimbar pendek di tempat sembahyang. Setiap sesajen yang tampilannya berbeda itu mewakili latar belakang para pengunjung pura. Sesajen yang terdiri dari canang saja berarti milik umat Hindu. Di samping sesajen canang, tampak sesajen yang juga disertai lilin putih, pertanda milik umat Kristen atau Katolik. Adapun sesajen yang terdiri dari daun pisang dan bunga, berarti milik umat Muslim.
”Beda materi sesajen, berarti beda keyakinan, tetapi intinya tetap satu, yaitu semua umat boleh berdoa di sini,” kata Fajaruddin (48), pemandu pengunjung pura.
Hubungan harmonis antarpenganut agama di Lombok kini melampaui sejarah yang sempat mewarnai berkembangnya peradaban NTB. Dulu, kerajaan Bali-Hindu, yaitu Kerajaan Karangasem, sempat lama menjajah kerajaan etnis Sasak yang menganut agama Islam.
Saat itu, politik segregasi sempat berlaku di Lombok. Permukiman ditata berdasarkan suku dan agamanya. Dikotomi itu memunculkan identitas kelompok yang akhirnya berdampak pada gejolak sosial.
Saling memaafkan
Kendati demikian, Suprapto dalam buku berjudul Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid mencatat, seiring waktu, hubungan di antara kedua penganut agama justru berlangsung harmonis ketimbang penuh konflik. Hal itu terjadi karena kesediaan tiap pihak saling memahami perbedaan, menaati hukum yang berlaku, dan kesediaan untuk mengampuni peristiwa masa lalu. Saling percaya antarwarga ditengarai bisa tercipta karena kebiasaan hidup, tradisi adat, dan budaya di NTB yang mengedepankan hidup rukun.
Keharmonisan tersebut masih dapat dijumpai dalam banyak sesengak (peribahasa) atau lelakaq (pantun) suku Sasak di Lombok. Perselisihan antarwarga selalu diselesaikan dengan petuah sehari-hari dan tradisi ”saling”. Misalnya, kendek kedek jukung belabu atau jangan menggoyang perahu yang sedang berlabuh. Perkataan tersebut sering diucapkan di tengah situasi yang rawan pertengkaran. Maknanya, jangan merusak ketenangan dan memancing pertengkaran.
Di luar tradisi lisan, ada pula kebiasaan hidup bertetangga sehari-hari, seperti joting (saling mengantar makanan), begawe (saling membantu ketika ada hajatan keluarga tetangga), dan tradisi lain yang sampai sekarang masih berlaku. Tradisi seperti itu mengedepankan kerukunan dan gotong royong tanpa memandang latar belakang suku dan agama.
Pura Lingsar hanya salah satu simbol kerukunan di NTB. Di sudut Kota Mataram lain berdiri megah Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Islamic Center.
Saat malam tiba, kemegahan masjid yang berada di lahan seluas 7,6 hektar tersebut lebih menonjol dengan gemerlap lampu berwarna-warni yang menghias kubah dan menara masjidnya. Tampak warga lokal dan turis berfoto di berbagai sudut kompleks masjid tersebut.
Tiga suku besar
Pesan keberagaman dan kerukunan tampak dari corak batik di kubah utama masjid yang menunjukkan corak batik Sasambo. Sasambo adalah perpaduan corak batik dari tiga suku besar di NTB, yaitu Sasak (Lombok), Sumbawa (Sumbawa), dan Mbojo (Bima). Motif batik khas NTB itu terdiri dari motif made sahe (mata sapi), motif uma lengge (rumah tradisional NTB dengan kubah menyerupai kerucut), serta gambar lombok atau cabai serta cicak.
Sebagaimana di Lombok, di Pulau Sumbawa, falsafah hidup dan tradisi yang berkembang juga mendorong masyarakat untuk hidup rukun. Petuah mana tau barang kayu, Lamen to sanyaman ate. Banan si sanak parana (siapa pun dia, jika mampu memunculkan rasa riang gembira, dia adalah sanak-peranak, saudara sehati sejiwa). Petuah turun-temurun itu masih sering muncul dalam mencegah perselisihan di tengah masyarakat Sumbawa yang beragam.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa Hasanuddin mengatakan, perbedaan sikap politik saat pemilu dan pilkada kerap memunculkan perselisihan kecil di lingkungan keluarga. Jika sudah begitu, anggota keluarga bisa saling tidak bertegur sapa. Namun, cekcok itu tidak pernah berlangsung lama.
”Biasanya nanti kita saling menertawakan, lalu sadar supaya jangan sampai ribut hanya karena masalah calon. Ada ucapan, kalau sudah naik (kepala daerah), lamen ko teknya, kita jadi apa (kalau sudah naik, kita ini jadi apa). Artinya, kita coba berdamai supaya tidak carut marut,” tuturnya.
Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018 Badan Pengawas Pemilu, NTB termasuk kategori wilayah rawan dengan skor sangat tinggi, terutama dari dimensi kontestasi politiknya.
Semoga, meskipun ada perbedaan sikap politik dan potensi kerawanan menyertai, masyarakat NTB tetap merawat kerukunan di Pulau Seribu Masjid. Ingat selalu, kendek kedek jukung belabu, jangan mengganggu perahu yang sedang berlabuh, jangan merusak ketenangan yang selama ini tercipta.
(AGNES THEODORA/RIANA AFIFAH)