Menjaga Adat dengan Tradisi Lisan
Sikapnya Pan Balang Tamak
Terhadap petinggi negeri
Serta para pengikutnya
Mengeritik terus menerus
Melancarkan kritik sosial
Nuntut adil
Supaya tidak gegabah
(Satua Pan Balang Tamak)
Penggalan di atas merupakan bagian satua atau folklor dari Bali berjudul Pan Balang Tamak. Sosok Balang Tamak kerap dianggap memberikan contoh buruk karena malas dan sering membangkang terhadap aturan raja. Namun, di balik tingkah lakunya, terselip tujuan untuk menegakkan keadilan agar para pemimpin tidak menyalahgunakan kekuasaannya dan menghukum orang dengan pasal karet.
Di akhir cerita, Balang Tamak meninggal karena diracun. Namun sebelum meninggal, ia meminta kepada istrinya agar menjalankan skenario seolah-olah dirinya masih hidup. Melalui arahannya, istri Balang Tamak memakaikannya baju, kemudian mendudukkan dan menyelipkan daun lontar di tangannya. Kemudian lebah, yang terbang dengan bunyi khasnya, dibiarkan terbang di dekatnya sehingga Balang Tamak seperti tengah merapal mantra.
Hal ini membuat warga yang melihatnya menyangka racun yang diberikan kepada Balang Tamak tidak manjur. Raja yang penasaran pun memeriksa dengan memakan sisa kue yang diracun. Akibatnya, raja yang menghukum mati Balang Tamak dengan racun ikut meninggal.
Cerita Pan Balang Tamak ini terus dituturkan pada anak-anak di Bali. Tujuannya untuk mengingatkan mereka agar kelak ketika menjadi pemimpin, terus mengayomi rakyat kecil dan bersikap adil. Di sisi lain, sikap pemalas dari Balang Tamak juga tidak sepatutnya dicontoh.
Kisah Pan Balang Tamak merupakan bagian dari tradisi lisan yang dipakai masyarakat Bali untuk menjaga nilai adat dan membangun karakter pribadi. Dahulu, folklor seperti Tan Balang Tamak sering dituturkan orangtua ke anak-anaknya menjelang tidur. Namun kini, untuk menjaga eksistensinya dari terpaan zaman, folklor tersebut juga disebarkan dengan format lain seperti lewat pementasan teater, diubah dalam bentuk permainan, hingga dituangkan dalam buku bergambar.
Karmaphala
Budayawan Bali I Made Taro menuturkan, perkembangan zaman telah menggeser nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Ini antara lain terlihat dari nilai karmaphala atau sebab-akibat yang mengakar dalam ajaran Hindu. ”Sekarang yang paling tergeser memang nilai karmaphala. Kalau saya berbuat jahat, saya akan dapat karmanya. Ada hukum sebab-akibat. Nilai ini sekarang merosot. Banyak orang tidak lagi percaya sehingga berani berbuat jahat,” tuturnya.
Kondisi ini mendorong Taro ikut aktif menghidupkan tradisi lisan di Bali. Lewat Sanggar Kukuruyuk yang didirikannya, ia mengajak anak-anak usia sekolah mendengarkan dongeng, meresapi kisahnya dengan olah peran, hingga membuat permainan untuk membantu mengaplikasikan nilai-nilai luhur di Bali.
Salah satu permainan ciptaan Taro adalah sepit-sepitan yang mengadopsi kisah Si Bangau dan Si Serigala. Permainan yang berupa memindahkan bola dengan capit kayu ini mengajarkan kejujuran, sportivitas, dan kerja keras. Permainan ini menjadi salah satu bahan ajar nilai antikorupsi saat Teacher Supercamp yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk para guru Pendidikan Anak Usia Dini.
Jan Vansina di buku Oral Tradition as History menjelaskan, karya sastra lisan memiliki kaidah dulce et utile atau indah dan bermanfaat. Ini karena terkadang bentuk kisahnya tidak hanya dituturkan dengan cara bercerita, tapi bisa juga dinyanyikan. Kisah Pan Balang Tamak sendiri juga hadir dalam bentuk geguritan dengan bahasa Bali.
Selanjutnya, Vansina menambahkan, pesan moral yang terkandung dalam tiap karya tradisi lisan merupakan produk sosial. Kisah tersebut terinspirasi dari kejadian nyata yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dampak yang diterima oleh pelakunya.
Dengan demikian, masyarakat dapat belajar dari kisah tersebut. Ini membuat cara menularkan kebaikan dan menanamkan nilai integritas lewat tradisi lisan akan lebih mudah diterima dan efektif. Bahkan bagi anak-anak akan terus membekas sehingga diharapkan menjadi pedoman saat beranjak dewasa.
Belakangan, masyarakat sering disuguhi berita tentang pemimpin daerah yang ditangkap KPK karena diduga menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi.
Kepala daerah yang beberapa waktu ditangkap KPK, antara lain Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Lampung Tengah Mustafa, Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus, Wali Kota Malang Mochammad Anton, dan mantan Wali Kota Kendari Asrun. Sebagian dari mereka ini ikut mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah serentak 2018.
Bali sendiri menjadi salah satu lokasi penyelenggara Pilkada 2018. Ada dua pasang calon yang memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur Bali. Mereka adalah I Wayan Koster-Tjokorda Artha Ardhana Sukawati serta Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra-I Ketut Sudikerta.
Para kandidat di Pilkada Bali punya rekam jejak panjang di dunia politik. Wayan Koster jadi anggota DPR sejak tahun 2004. Sementara Tjokorda Artha menjabat Bupati Gianyar periode 2008-2013. Rai Dharmawijaya adalah Wali Kota Denpasar selama tiga fase kepemimpinan (2008-2010, 2010-2015, dan 2015-sekarang). Sementara I Ketut Sudikerta saat ini masih menjabat Wakil Gubernur Bali.
Namun bagi masyarakat Bali, rekam jejak di dunia politik bukan satu-satunya tolok ukur untuk menjatuhkan pilihan dalam pilkada. Ada faktor lain seperti kasta. Sosok yang memegang nilai ajaran karmaphala juga mendapat tempat tersendiri di masyarakat. ”Orang di Bali tidak berani melawan adat,” ujar Taro.
Terkait hal itu, Guru Besar Fakultas Sastra dari Universitas Udayana I Nyoman Darma Putra menuturkan, nilai seperti yang ada dalam ajaran karmaphala memang harus terus dijaga. Merujuk nilai ajaran karmaphala, para pemimpin daerah yang mengupayakan kesejahteraan rakyat dengan berlandaskan kejujuran akan disukai rakyat dan terus mendapat kepercayaan.
Semoga nilai dari ajaran karmaphala masih dan terus jadi pegangan para pemimpin kita.
(RIANA A IBRAHIM / AGNES THEODORA)