JAKARTA, KOMPAS – Proses pengangkatan penyidik di Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi menuai polemik. Penyidik yang sudah habis masa tugasnya di lembaga anti rasuah dikabarkan akan diangkat kembali atas persetujuan sejumlah pimpinan yang rawan melanggar peraturan internal di KPK.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, seorang penyidik bernama Muhammad Irhamni (inisial MI/ jika tidak ingin sebut nama terang) yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia dan menjadi Kepala Satuan Tugas untuk penanganan perkara Badan Likuiditas Bank Indonesia hendak ditarik kembali untuk bertugas di KPK. Padahal masa kerjanya sudah mencapai 10 tahun.
Agus Sunaryanto dari Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Minggu (8/4) menyatakan, apabila kabar ini terkonfirmasi maka pimpinan KPK yang menyetujui pengusulan yang bersangkutan kembali menjadi penyidik berpotensi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi (PP SDM KPK). Dalam aturan tersebut, syarat batasan waktu pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK adalah paling lama 10 tahun.
Syarat tersebut tertuang pada Pasal 5 Ayat 3 yang berbunyi masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan pada KPK selama 4 tahun. Kemudian, pada Pasal 5 Ayat 4 dan Ayat 5 mengatur perpanjangan masa penugasan dengan tenggat paling lama 6 tahun yang dilakukan dalam dua tahap yaitu. Perpanjangan tersebut pun harus dikoordinasikan dengan pimpinan instansi asal.
“Pimpinan KPK jangan bertindak ceroboh yang berpotensi melanggar hukum dalam proses pengangkatan penyidik KPK ini. Sebab, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pimpinan KPK juga memiliki konsekuensi terhadap potensi pelanggaran terhadap UU KPK dan potensi pelanggaran etik sebagai pimpinan KPK,” ujar Agus.
Informasi pengangkatan penyidik ini, lanjut Agus, dilakukan tidak transparan. Di sisi lain, rekrutmen untuk posisi lain seperti Deputi Penindakan KPK dan Direktur Penuntutan KPK juga menimbulkan pertanyaan karena tidak terpantau publik. “Pimpinan KPK terkesan berupaya menjauhkan publik untuk terlibat dalam memberikan masukan terhadap calon-calon yang ada,” kata Agus.
Langkah ini dinilai dapat merusak tatanan organisasi di internal KPK karena memaksakan diri mengambil kebijakan secara melanggar hukum yang diduga dilakukan atas titipan pihak tertentu. Padahal pimpinan KPK semestinya independen dalam mengambil keputusan. Sebab, internal di KPK sendiri mulai bergejolak atas pengangkatan penyidik purna tugas ini.
Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman mengungkap gejolak tersebut lewat pernyataannya pada Jumat (7/4) lalu. “Hari ini saya terima email penerimaan pegawai. Salah satu kasatgas saya minta untuk kembali ke KPK dan dia adalah penyidik yang baik. Penerimaan beliau di dalam kpk dikembangkan seolah-olah ini seperti kuda troya,” bebernya.
Padahal Aris sendiri masih memiliki persoalan etik yang belum tuntas di KPK. Kedatangannya di Panitia Khusus Angket KPK pada Oktober lalu dinyatakan Dewan Pengawas telah melanggar etik. dengan komposisi delapan yang sepakat dan dua yang menolak. Akan tetapi, pimpinan tidak kunjung mengeluarkan putusan.
Begitu pula kasus etik terhadap penyidik Rolan Rolandy dan Harun mengenai penghilangan barang bukti dalam kasus Patrialis Akbar yang putusan tidak lagi bisa ditindaklanjuti karena keduanya ditarik kembali ke Kepolisian saat pemeriksaan perkara etiknya masih berjalan.
Menanggapi tentang pengangkatan penyidik ini, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, menjelaskan terhadap penyidik yang dipersoalkan karena telah bertugas sekitar 10 tahun tersebut belum dilakukan pengangkatan. Ia pun menyampaikan KPK tetap mengacu pada PP SDM KPK dalam mengangkat pegawai, termasuk penyidik.