JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera di DPR menolak gagasan untuk menerapkan kembali pilkada tidak langsung. Selain membatasi hak rakyat untuk memilih calon pemimpinnya sendiri, penerapan kembali pilkada tak langsung merupakan sebuah kemunduran.
”Kembali ke pilkada tidak langsung itu tidak relevan dan malah memunculkan masalah baru, yaitu menutup hak rakyat untuk berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemerintahan,” kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Fandi Utomo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/4/2018).
Ketua DPR dari Partai Golkar Bambang Soesatyo, sejak dua bulan lalu, tak henti-hentinya menggulirkan wacana mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Ia menilai sistem pemilihan oleh DPRD yang pernah diterapkan bisa lebih baik dari pilkada langsung. Sistem pilkada langsung membuat biaya politik amat tinggi sehingga banyak kepala/wakil kepala daerah terjerat korupsi. Sistem itu juga membuat masyarakat terkotak-kotak berdasarkan pilihannya pada calon (Kompas, 7/4/2018).
Selain menilai pilkada tak langsung sebagai sebuah kemunduran, Fandi juga mengatakan, tidak ada jaminan bahwa penyelenggaraan pilkada tidak langsung akan menyelesaikan masalah politik berbiaya tinggi dan politik uang. Pilkada oleh DPRD tetap membuka ruang transaksi dan politik uang dalam bentuk lain. Perbedaannya hanya pada subyek dan sasaran yang berusaha dipengaruhi pilihannya dengan uang.
”Artinya, bicara korupsi dan politik uang, itu masih relatif. Apa betul itu disebabkan oleh pemilihan langsung?” ujarnya.
Selain merupakan solusi yang tidak tepat, pilkada tidak langsung juga dikhawatirkan dapat menghasilkan pemerintahan oligarki karena hanya dikuasai kelompok politik tertentu yang kebetulan memiliki suara mayoritas di parlemen. Hasilnya, tidak ada check and balance yang optimal dari legislatif terhadap eksekutif karena pemerintahan daerah adalah wujud dari kekuatan politik di DPRD.
”Apakah kita mau mundur dari demokrasi murni kembali pada demokrasi aristokratik dan oligarkis?” katanya.
Perlu dibenahi
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera juga menolak wacana mengembalikan pilkada ke DPRD. Pasalnya, esensi terpenting dalam demokrasi adalah pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat. Jika kemudian hak rakyat untuk memilih pemimpinnya itu dicabut, berarti sama saja mencederai demokrasi.
Menurut dia, alih-alih mengubah sistem pilkada, lebih baik DPR bersama pemerintah berpikir untuk membenahi sistem yang ada guna mencegah biaya politik tinggi setiap kali pilkada yang ujungnya kerap membuat kepala/wakil kepala daerah korupsi. ”Benahi sistem yang ada tanpa harus mencabut hak rakyat untuk bisa memilih pemimpin daerahnya,” katanya.
Sementara itu, Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, mengatakan, wacana mengembalikan pilkada kembali seperti pada era Orde Baru lebih dikarenakan partai politik menilai transaksi melalui lembaga perwakilan, seperti DPRD, jauh lebih mudah dan biaya yang dikeluarkan oleh para calon jauh lebih kecil.
”Itu logika penguasa. Tapi dalam perspektif demokrasi, seharusnya perspektif program yang harus dimajukan dibandingkan perspektif transaksional atau politik uang,” katanya.
Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyatakan, wacana itu sebenarnya sudah lama. Namun, sampai saat ini belum ada pembahasan serius antara pemerintah dan DPR. ”Belum ada sikap resmi dari pemerintah,” ujarnya.